USHULFURU’ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furu’uddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah Furu’ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan
Perbedaan pendapat dalam agama pun merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Bila kita membaca sirah Rasulullah SAW, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Malahan, Rasulullah kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda-beda, selama tidak bertentangan dengan dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, terkait Rasulullah pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasul berpesan, “Kalian jangan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Singkat cerita, di tengah perjalanan, Para sahabat yg diutus tersebut terpecah kepada dua kelompok dalam memahami pesan Nabi ini. Ada yang memahami secara substansial atau kontekstual. Dan ada pula yang memahaminya secara literal dan tekstual. Dikarenakan tidak ada titik temu,kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah saat ini, kita sering mendengar seseorang atau tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan Islam, tapi kemudian mengkafirkan kelompok atau mazhab yang tidak sependapat dengan mereka. Setiap yang berbeda dengan mereka langsung divonis sesat, bid’ah, kafir dan telah keluar dari ini mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada kelompok mereka. Mereka seringkali tidak mampu membedakan mana persoalan-persoalan yang bersifat ushul/pokok dalam agama, dan mana persoalan yang termasuk furu’/cabang dalam agama persoalan yang bukan prinsip dasar dalam agama yang sifatnya ijtihadi serta masih boleh juga tidak mengenal adanya istilah ijtihad mustaqil, ijtihad muthlaq, ijtihad mazhabi, ijtihad parsial, ijtihad kolektif dan lain sebagainya. Mereka juga tidak paham mana saja batasan-batasan kulli dan juz’i, qath’i dan zhanni apakah itu Qath’iyyuts Tsubut dan Qath’iyyud Dalalah ataupun Zhanniyyuts Tsubut dan Dalalah baik dalam aspek akidah, fiqih, tasawwuf dan lain sebagainya. Padahal, Islam itu luas dan tidak sesempit yang mereka bagaimana seharusnya menyikapi persoalan-persoalan demikian? Tentunya kita harus mampu mengenal mana saja batasan-batasannya. Kita coba ambil contoh terkait batasan ushul dan furu’ ataupun qath’i dan zhanni dalam ranah akidah dan misalnya. Menurut Imam al-Ghazali, hanya ada tiga yang menjadi urusan ushul/pokok didalamnya. Apabila ada orang yang menentangnya maka seketika itu dapat menyebabkan dia keluar dari agama Islam. Tiga hal pokok/ushul itu adalah Iman kepada Allah, Iman kepada Rasul atau utusan-Nya, dan Iman kepada hari Hari dari itu masuk ke dalam kategori furu’/cabangnya. Lalu bagaimana penentangan terhadap masalah akidah yang masuk dalam kategori furu’/cabang? Menurutnya Imam al-Ghazali hanya menyebabkan penentangnya menjadi sesat melakukan bid’ah, tidak sampai menjadi kafir atau keluar dari agama saja perkara yang termasuk furu’ dalam persoalan akidah? Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi pernah menjawab bahwa kategori yg termasuk far’i adalah masalah-masalah juz’i tentang keyakinan/akidah yang tidak mempunyai dalil qath’i. Misalnya, kebangkitan manusia untuk kedua kalinya, apakah setelah habis seluruhnya atau setelah bercerai-berai? Atau pembahasan terkait sifat “Sama’ dan Bashar” nya Allah. Apakah dua sifat itu berhubungan dengan semua hal yang wujud ataukah hanya berhubungan dengan sesuatu yang bisa didengar dan dilihat saja? Nah, persoalan-persoalan ini termasuk kategori furu’ dalam akidah yang masih bisa diperselisihkan. Dan masih banyak contoh teks pernyataan al-Imam al-Ghazali tadi bisa kita baca dalam karyanya, Faishalut-Tafriqah yang berbunyi Ketahuilah bahwa mengenai sesuatu yg dapat membuat kufur dan yang tidak, memerlukan penjelasan yg sangat panjang. Perlu juga utk menjelaskan setiap pendapat dan setiap mazhab. Perlu juga menjelaskan setiap syubhat/kerancuan dari masing-masing serta dasar-dasarnya baik dari segi zahir maupun takwilnya. Hal ini tdk cukup meski dg berjilid jilid kitab, dan waktuku juga tidak cukup utk oleh karena itu, kata beliau sekarang terimalah sebuah pesan dan satu ketentuan yang sangat penting yaitu“Tahan mulut agar jangan sampai mengkafirkan ahli kiblat/muslim dengan semampumu, selagi mereka masih mengatakan dan meyakini kalimat tauhid LA ILAHA ILLALLAH, MUHAMMADUN RASULULLAH dan mereka tidak mendustakan Rasulullah SAW. Sungguh, mengkafirkan sesama muslim itu sangatlah berbahaya, sementara diam dari itu tidaklah berbahaya.”Tampaknya, pendapat al-Imam al-Ghazali ini dalam konteks mempersatukan umat Islam. Sehingga langkah untuk membangun kerjasama dan dialog antar-mazhab dan aliran akan lebih mudah. Dengan demikian, perpecahan yang mengancam ketentraman umat Islam bisa dihindari sedini mungkin. Dan beliau sangat mengerti akan bahaya dan dampak dari mengkafirkan sesama muslim, terlebih lagi menumpahkan darah sesama As-Subki pun pernah berkata, “Selagi seseorang meyakini dua kalimat syahadat, maka seketika itu dia sulit untuk dikafirkan”. Selain itu, Imam Az-Zahabi dalam kitabnya Siyar A`lamin Nubala’ menceritakan bahwa gurunya yang bernama Ibn Taimiyah pernah berkata di akhir hayatnya, “Aku tidak mengkafirkan siapapun dari umat Islam”.Adapun persoalan selanjutnya dalam ruang lingkup fikih, Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa pernah berkomentar, bahwa yang masih bisa dilakukan ijtihad adalah hukum syar’i yang tidak memiliki dasar pasti dalil qath’iy dan masih bersifat zhonni. Bila terjadi kesalahan ijtihad dalam hal ini maka tidaklah berdosa. Adapun kewajiban salat 5 waktu, puasa, kewajiban membayar zakat, naik haji, serta hal-hal yang sudah disepakati ummat, yang memiliki dalil Qathi, maka tidak boleh dilakukan ijtihad dan berdosa menentangnya. Beliau juga menegaskan tidak ada pengafiran sama sekali di dalam masalah furu`, kecuali satu masalah, yaitu mengingkari ajaran agama yang diketahui dari Rasulullah secara mutawatir ma `ulima fi al-din bi al-dharurah.Namun sangat disayangkan banyak yang gagal paham dalam memahami batasan-batasan qath’iy-zhanni dalam persoalan fikih ini. Sehingga tak jarang terjadi pertikaian di tengah masyarakat dengan “mengkambing-hitamkan” mazhab fikih sebagai biang keladi penyebab perselisihan tersebut. Padahal, bagaimanapun banyaknya perbedaan pendapat dalam mazhab fikih sejak awal tumbuhnya sampai saat ini sejatinya hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan dan perkelahian di internal umat Islam. Justeru mazhab-mazhab ini muncul dari dasar tolong menolong terhadap fiqih, dan dari pengambilan yang disimpulkan dari dasar yang kokoh dan kira-kira beberapa contoh dalam melihat batasan-batasan dan perbedaan pendapat pada aspek akidah dan fiqih. Hal itu tentu membawa pesan tersirat kepada kita untuk lebih bijak dalam melihat segala sesuatunya serta tidak mudah cepat-cepat memvonis sesat atau kafir terhadap seseorang atau kelompok dan sebagainya. Jika dalam aspek akidah dan fiqih saja ada perkara ushul dan furu`, qath’iy dan zhanniy, apalagi dalam aspek tak perlu heran bila kemudian banyak terjadi ijtihad, perbedaan dan perkembangan metodologi, serta corak aliran dalam dunia sufi. Ada namanya tasawwuf amali, tasawwuf akhlaqi, tasawwuf falsafi, zauqiy dan sebagainya. Begitu pula dengan tarekat, ada banyak macam-macam tarekat di dunia setelah melalui proses ta’sis, tajdid pembaharuan, bahkan jam`uth thuruq penggabungan dari beberapa tarekat shufiyyah yang dilakukan oleh sufi-sufi tertentu sepanjang karenanya, yang harus kita sadari adalah bahwa perbedaan-perbedaan dalam mazhab, aliran dan pemikiran itu tidak perlu disamakan menjadi satu format, satu bentuk dan sistem. Dalam kitab Al-Inshaaf fi Asbab al-Ikhtilaf diceritakan pernah ada kisah tentang Imam Malik bin Anas, pengarang kitab al-Muwaththa’ sekaligus guru dari Imam Syafii. Diceritakan bahwa penguasa waktu itu hendak menggantungkan kitab Al-Muwathta’ tersebut di Ka’bah agar umat Islam dalam menentukan hukum dapat merujuk kepada satu rujukan saja, serta agar tidak terjadi perbedaan pendapaat di kalangan umat ketika apa sikap dan respon Imam Malik ketika itu? Ia justeru menolak rencana itu. Beliau menegaskan, “Jangan !!! Karena para sahabat Rasulullah SAW pun berbeda pendapat dalam masalah furu’iyyah agama, sedangkan mereka telah tersebar di berbagai negara”. Nah, dalam hal ini Imam Malik bin Anas begitu menyadari bahwa perbedaan pendapat baik dalam hal menafsirkan, memahami, dan sebagainya adalah sebuah pendapat merupakan bentuk rahmat dari Allah. Makanya Ibn Abidin dalam kitabnya, Ad-Durrul Mukhtar mengatakan, “Perbedaan merupakan salah satu dari pengaruh rahmat. Semakin banyak ikhtilaf, maka semakin banyak pula rahmat yang didapat”. Sebagaimana juga banyak riwayat-riwayat hadis Nabi yang mengatakan tentang Ibnu Taimiyah juga pernah menegaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah. Apa kata beliau? “Kita diperintahkan untuk adil dan objektif. Jika Yahudi atau Nasrani, apalagi Syiah Rafidhi mengucapkan sesuatu yang disitu terdapat sisi kebenarannya, maka kita tidak boleh menolak atau meninggalkan semua sisi kebenaran itu”.Dan dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa, “Berpegang teguh pada persatuan dan saling mengasihi, merupakan pokok/ushul agama. Sedangkan masalah furu’/cabang agama yang diperselisihkan adalah termasuk dari bagian-bagian masalah furu’ yang kecil. Maka bagaimana mungkin kita akan melalaikan yang pokok/ushul hanya karena menjaga masalah-masalah yang sifanya cabang/furu’ belaka?”.Oleh karena itu kita harus bijak dalam beragama. Harus mampu memilah dan memilih mana perkara yang sifatnya ushul dan mana yang furu’ yang tidak perlu diperdebatkan. Mana yang qath’i dan mana yang zhanni. Jangan terlalu mudah menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dan pemahaman dengan kita padahal dia masih saudara seiman dan masih dalam naungan kalimat tauhid yang SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariمن رمى مؤمنا بكفر فهو كقتله“Barangsiapa yang menuduh kafir pada seorang mukmin, maka hal itu sama dengan membunuhnya”.Dalam hadis lain juga dikatakan sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslimإذا قال الرجل لأخيه يا كافر، فقد باء بها أحدهما“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Hai orang kafir…” maka kekafiran itu sejatinya kembali pada salah satu dari keduanya”.Terakhir, ada pertanyaan yang berulang-ulang dipertanyakan tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam membangun dialog dengan non-Muslim atau orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita?Untuk menjawab hal ini agaknya perlu kembali mengingat sejarah atau Sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir dikatakan Bahwasanya Rasulullah SAW tidak menutup pintu dialog dengan orang-orang musyrik, orang Yahudi maupun orang Nasrani. Bahkan, beliau pernah melakukan dialog dengan golongan-golongan ini di tengah-tengah masjid berdialog dengan beliau di dalam masjid tersebut, bahkan Nabi SAW pernah membiarkan orang-orang Nasrani melakukan ibadah di masjid beliau dan orang-orang musyrik pun pernah memasuki masjid di masa hidupnya. Disebutkan, tatkala utusan Nasrani Najran datang dan tibalah waktu salat Ashar, mereka pun melakukan ibadah ke arah Timur waktu itu, Nabi pun berkata kepada para Sahabat, “Biarkanlah mereka”.Begitulah sikap Nabi SAW dalam membangun dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengannya. Beliau tetap menghargai dan menghormati keyakinan orang lain dengan tetap mengedepankan dialog antar umat beragama. Ya, memang ada batasan-batasan yang diajarkan dalam Islam. Misalnya dalam persoalan akidah atau tauhid memang tidak perlu lagi diotak atik dan itu merupakan sebuah keniscayaan dalam beragama. Sebagaimana dalam al-Quran, “Lakum dinukum wa liyadin”. Bagimu agamamu, dan bagiku kita berbeda keyakinan dalam aspek akidah atau tauhid, tapi tentu hal itu tidak menghalangi kita kaum muslimin dengan umat agama lain dalam hal menjalin interaksi sosial, hubungan ekonomi, politik dan budaya sekalipun. Maka dalam hal ini, saling menghargai dan menghormati antar sesama dalam koridor kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara perlu dipertahankan. Dalam hal ini pula ada istilah ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah. Persaudaraan sesama muslimin, persaudaraan sebangsa setanah air, dan persaudaraan sesama manusia.

FiqihDakwah. Penjelasan Risalah Ta’alim (Bag. 1) 11-05-2022. Risalah Ta’alim merupakan risalah terpenting yang ditulis Hasan Al-Banna pada tahun 1938, yang dimaksudkan untuk menyatukan pemahaman aktivis dakwah perihal Islam, sehingga mereka memiliki pemahaman yang satu padu tentang Islam. Inti dari risalah ini adalah 10 arkanul bai’ah

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Menutup aurat adalah ushul. Celana di atas atau di bawah mata kaki adalah furu'. Pun, niqob adalah furu', jari bergerak atau tidak dalam sholat adalah furu', lutut dulu atau tangan dulu saat akan sujud adalah furu', janggut adalah furu', dan lain-lain yang furu' adalah furu'. Mendahulukan ushul daripada furu' lebih utamaMendiskusikan furu' tetap perlu selama tidak mengkudeta ushulTidak mengushulkan apa yang sebenarnya furu'Tidak memfuru'kan apa yang sebenarnya ushul Iman 'terendah' adalah membuang duri dari jalan'Terendah' adalah termudah Mengaplikasikan iman paling mudah adalah iman implementatifIman yang tidak hanya didiskusikan dan diperdebatkanIman yang bukan membabi buta menebar tuduh; kafir, musyrik, khawarij, murji'ah, dll kecuali bila benar adanyaMembuang duri dari jalan adalah imanIman yang peduli lingkunganMenjaga dan memelihara fasilitas jalan dan fasilitas umum lainnya adalah imanIman yang transformatifIman yang dijalani bukan yang semata diakuiIman yang karaos terasa bukan hanya iman yang kahartos dimengerti Apa yang sudah selesai pembahasannya oleh para ulama terdahuluYang sudah didiskusikan, diperdebatkan oleh mereka Rahimahumullahu Ta'alaOleh mereka yang jauh lebih berilmu daripada kita, sudahlahApa yang sudah disepakati sebagai furu' yang mereka saling menghormati dalam perbedaan dan bekerjasama dalam kesatuanTugas kita, implementasikan Islam, agar terasa Islam ini betapa nikmatnya, betapa nyamannya, betapa tenangnya.............Mari mulai membuang duri dan sampah dari jalanUshul = Pokok, Furu' = Cabang dari pokok. Para ulama telah bersepakat terhadap hal2 yang Ushul, para ulama berbeda pendapat terhadap beberapa perkara yang Furu'. Bila ulama saja berbeda pendapat terhadap beberapa hal yang furu', sementara mereka memiliki kafaah keilmuannya, anggap saja itu sudah selesai di antara mereka dan buat kita. Tugas kita, bahu membahu dalam perkara yang Ushul dan saling bertoleransi atas perkara yang furu'....maksudnya si ingin mengorelasikan bahwa persoalan khilaf furu' itu mestinya tdk dibesar2kan lagi, sebab bila itu dilakukan hanya akan mengulang dialektika yg sama dulu yg dilakukan para ulama. Mereka saja tidak selesai dan berakhir utk saling menghargai perbedaan dlm perkara furu'.. juga mereka tidak menyesal dan menyayangkan pihak lain yg berbeda dgn mereka dlm perkara furu'. Lanjutnya, saya ingin kita beralih focus, ke keislaman dan keimanan kita yg harusnya rahmatan lil 'alamin, dlm bentuk sprti apa Islam rahmatan lil'alamin? Apakah dalam bentuk terus berlelah-lelah memperdebatkan perkara furu' yg para ulama saja berbeda pandangan pada beberapa halnya? yang tidak jarang pula memunculkan konflik. Atau segera sadar bahwa bumi ini, alam ini, umat ini, bangsa ini, semua manusia sedang sangat menunggu dan membutuhkan sentuhan tangan kita atas konsep Iman kita yg agung dan luhur, untuk mulai mengimplementasikan bahwa bareng2, gotong royong memperbaiki jalan, menghijaukan bumi, hemat air dsb adalah Iman itu sendiri. Sebagian dari kita masih terjebak dalam berlarut-larut secara berlebihan memperdebatkan Dzat Allah, Allah tinggal di mana, misalkan. Hal ini penting tentu, hanya setelah menyampaikan penjelasan, cukup doakanlah, kemudian kerja-kerja-kerja- untuk umat secara real. Tidak lagi terpancing utk memperpanjang jidal dengan sebagian orang yang mencari-cari pembenaran bukan mencari kebenaran....Yang menanyakan terkait Isbal celana di bawah mata kai. Saya merasa dari keyakinan saya dari ilmu saya yang sederhana terkait hal tersebut bahwa isbal tanpa disertai rasa sombong laa ba’sa bih, tidak mengapa. Tentu saja asal jangan berlebihan sampai kainnya terseret-seret di tanah. seringkali saya juga pakai celana cingkrang kok…Begini saja- ini yang terakhir dari saya – Sikap saya terkait hukum celana ini; saya mengikuti pendapat ulama yang membolehkan mengenakan celana isbal tanpa disertai kesombongan. Namun saya amat sangat menghormati sekali kawan2 yang mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak sombong maupun tidak sombong. Saya bahkan berada di lingkungan aktivitas yang sebagian besar aktivisnya bercelana cingkrang. Dan Alhamdulillah kami di sini baik-baik saja….Yang penting menurut saya terkait persoalan ini persoalan ISBAL itu hanya terkait dua hal pokok saja; yakni CELANA dan SOMBONG adalah faktor SOMBONG nya bukan faktor CELANA nya. Jelas bila dilihat dari sisi apapun, kesombongan jauh harus mendapatkan perhatian lebih dari kita daripada hanya’ sekedar celana. Bagi saya, yang akan memasukkan orang ke Neraka adalah SOMBONG bukan CELANA. Ada banyak riwayat yang menegaskan bahwa kesombongan yang merupakan hak Allah saja untuk sombong akan mengakibatkan pelakunya masuk Neraka. Saya belum pernah menemukan riwayat yang eksplisit, yang tanpa ada kemungkinan memalingkannya ke makna yang lain, menyebutkan bahwa CELANA akan memasukkan orang ke Neraka. Terkecuali bagi orang yang tidak mau – maaf – memakai celana karena dia meyakini bahwa menutup aurat itu tidak wajib, jelas dia bila tidak bertaubat akan dimasukkan ke dalam Neraka. Jadi persoalan CELANA ini mesti ada backgroundnya. Karena bila hanya soal CELANA saja tanpa ada kaitannya kepada apapun, Islam ini tidak akan disebut sebagai agama yang adil dan rasional. Di jaman Jahiliyyah, tanda dan standar orang kaya, terhormat dan bangsawan itu adalah dengan panjangnya pakaian yang mereka kenakan. Bahkan harus sampai dipegang oleh dayang2 dan budak2nya. Rasulullah bermaksud menghapus dan menghilangkan sikap sombong dan takabbur seperti ini. Karena sifat SOMBONG itu amat sangat berbahaya, takabbur adalah sifat Iblis, sangat berbahaya terhadap aqidah dan keimanan. Maka dengan keras Rasulullah melarangnya dengan ancaman Neraka.[Bila diskusi ini dipanjangkan akan sangat panjang, bila dipendekkan akan cukup pendek… cukupkanlah membaca keterangan para ulama dari kedua belah pihak, kemudian ambil yang menurut kita paling dimengerti. Peganglah itu kuat-kuat sambil tetap menghargai pihak yang berbeda dengan kitaDan saya lebih cenderung dalam perkara ini kepada istinbathul ahkam yang memiliki landasan kaidah ushul Hamlul Muthlaq ilal Muqoyyad.’ Demikian. Saya mohon maaf bila keterangan ini tidak memuaskan. Mohon doakan saya agar m endapatkan kejernihan berpikir sehingga mampu untuk memilah perkara furu’ yang menjadi khilaf bainal ulama dan memilih yang diperkirakan lebih menetapi kebenaran….. -*diskusi di pasebuk Lihat Pendidikan Selengkapnya

Sedangkanushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada

Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan artikel tentang apakah bolehkan berbeda pandangan dalam masalah akidah. Selamat membaca. 1. Pengertian Akidah Secara bahasa akidah berasal dari kata عَقَدَ yang bermakna ikatan yang kuat. Maqayis Lughah Hal. 587. Sedangkan akidah berarti sesuatu yang terikat atau tertanam kuat dalam hati. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda لا يَعْتَقِدُ قَلْبُ مُسْلِمٍ عَلى ثَلاثِ خِصالٍ، إلّا دَخَلَ الجَنَّةَ “Jika seorang meyakini tiga perkara, dia pasti masuk surga.” Zaid bin Tsabit bertanya, apakah tiga hal tersebut? Rasulullah ﷺ bersabda إخلاص العمل، والنصيحة لولاة الأمر، ولزوم الجماعة، فإن دعوتهم تحيط من وراءهم “Ikhlas dalam beramal, memberikan nasihat kepada para pemimpin, dan tetap bersama jama’ah kaum muslimin. Sesungguhnya doa kaum muslim senantiasa mengelilingi mereka.” HR. Darimi no. 235. Adapun secara istilah yang dikenal sekarang, akidah adalah ketetapan dan pengakuan hati dalam hal yang berkaitan dengan pembahasan iman, tauhid, kenabian dan hal yang ghaib. 2. Hukum Berbeda Pendapat dalam Permasalahan Agama Hukum berbeda pandangan atau pendapat ikhtilaf dalam permasalahan agama, tidak bisa kita sama ratakan di setiap pembahasan. Kita tidak bisa mengatakan, tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah agama secara mutlak dan kita juga tidak bisa mengatakan boleh berbeda pendapat dalam setiap pembahasan agama, namun harus dirinci terlebih dahulu kapan boleh dan kapan tidak bolehnya. Perbedaan pendapat dalam permasalahan agama terbagi menjadi dua 1. Perbedaan pendapat yang dibolehkan khilaf mu’tabar 2. Perbedaan pendapat yang terlarang khilaf ghairu mu’tabar. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair وليس كل خلاف جاء معتبرًا إلا خلاف له حظ من النظر Tidak semua ikhtilaf itu bisa diakui Kecuali ikhtilaf yang memiliki sudut pandang yang kuat Mengetahui apakah sebuah ikhtilaf dan perbedaan pendapat masuk dalam kategori dibolehkan atau tidak adalah dengan melihat kepada tiga komponen 1. Orang yang berbeda pendapat, apakah dia seorang ahli atau bukan. 2. Perbedaan pendapat tersebut dibangun di atas dasar pendalilan yang benar atau dasar pendalilan yang keliru. 3. Masalah yang diperselisihkan masuk ke dalam ranah pembahasan yang dibolehkan untuk berijtihad masail ijtihadiyyah atau masuk dalam ranah pembahasan yang sudah pasti dan tidak dibuka pintu ijtihad di dalamnya. Dari tiga poin di atas, kita bisa menentukan kapan perbedaan pendapat dibolehkan dalam masalah agama, dan kapan tidak dibolehkan. Perbedaan pendapat dalam permasalahan agama dibolehkan, apabila memenuhi 3 syarat • Orang yang berbeda pendapat adalah para ulama mujtahidin. • Pendapat tersebut dibangun di atas dasar pendalilan yang benar dan diterima oleh syariat. • Masalah yang diperselisihkan adalah pembahasan ijtihadiyyah. Perbedaan pendapat dalam permasalahan agama tidak diperbolehkan, apabila • Orang yang menyelisihi sebuah pendapat adalah orang awam atau muqallid. • Pendapat tersebut dibangun di atas dasar pendalilan yang keliru. • Masalah yang diperselisihkan adalah masalah yang sudah pasti dan tidak ada lagi celah untuk berijtihad. Lihat Qanun Ta’sis Aqdy 258 – 259. 3. Hukum Perbedaan Pendapat dalam Masalah Akidah Hukum permasalahan akidah sama dengan permasalahan lainnya dalam masalah agama, tidak ada perbedaan. Merupakan sebuah kekeliruan ketika ada yang menyatakan tidak bolehnya berbeda pendapat dalam masalah akidah dan boleh berbeda pendapat dalam masalah amalan fikih. Sebagian orang menamakan masalah akidah dengan perkara ushul pokok sedangkan perkara fikih dinamakan perkara furu’ cabang, lalu mereka membangun kekeliruan berdasarkan pembagian ini, dengan menyatakan tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah ushul akidah. Ibnu Taimiyyah telah membantah kekeliruan dalam penamaan masalah akidah dengan ushul pokok dan amalan fikih dengan furu’ cabang, beliau berkata أنَّ المَسائِلَ الخَبَرِيَّةَ قَدْ يَكُونُ بِمَنزِلَةِ المَسائِلِ العَمَلِيَّةِ؛ وإنْ سُمِّيَتْ تِلْكَ مَسائِلَ أُصُولٍ» وهَذِهِ مَسائِلَ فُرُوعٍ» فَإنَّ هَذِهِ تَسْمِيَةٌ مُحْدَثَةٌ قَسَّمَها طائِفَةٌ مِن الفُقَهاءِ والمُتَكَلِّمِين؛ وهُوَ عَلى المُتَكَلِّمِينَ والأُصُولِيِّينَ أغْلَبُ؛ لا سِيَّما إذا تَكَلَّمُوا فِي مَسائِلِ التَّصْوِيبِ والتَّخْطِئَةِ. “pembahasan khabariyyah akidah terkadang sama kedudukannya dengan masalah amaliyah fikih, walaupun ada yang menamakan pembahasan akidah itu dengan ushul pokok dan pembahasan fikih dengan furu’ cabang. Penamaan ini adalah penamaan yang dibuat oleh para sekelompok orang dari ahli fikih dan ahli kalam, kebanyakan yang menggunakan istilah ini adalah para ahli kalam dan ushul fikih, terlebih ketika mereka membahas benar atau salahnya seorang mujtahid.” Majmu’ Fatawa 7/56. Kemudian, beliau menjelaskan pembagian yang tepat untuk pembahasan ushul dan furu’ ini, beliau berkata بَلْ الحَقُّ أنَّ الجَلِيلَ مَن كُلِّ واحِدٍ مِن الصِّنْفَيْنِ مَسائِلُ أُصُولٍ» والدَّقِيقَ مَسائِلُ فُرُوعٍ» “pembagian yang tepat adalah setiap masalah yang sudah jelas dari dua jenis pembahasan tersebut akidah maupun fikih masuk dalam perkara ushul, sedangkan perkara yang pelik dari kedua pembahasan tersebut masuk dalam furu’.” Majmu’ Fatawa 7/56. Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa perkara yang sudah jelas dan tidak ada lagi celah untuk berijtihad masuk dalam perkara ushul pokok, baik itu perkara akidah maupun amalan fikih, tidak dibenarkan berbeda pendapat dalam masalah ini. Contoh pembahasan akidah yang sudah jelas adalah keberadaan Allah, Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kemuliaanNya, masalah tauhid dan lainnya. Contoh pembahasan amalan fikih yang sudah jelas adalah kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan semisalnya. Begitupula, perkara yang pelik dan tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam pembahasannya, sehingga para ulama mujtahid pun berijtihad menggunakan dalil-dalil yang ada dan dengan dasar pendalilan yang diakui dalam syariat untuk mencari hukumnya, baik dalam masalah akidah maupun masalah amalan fikih, ini masuk dalam kategori furu’ yang memungkinkan untuk berbeda pendapat di dalamnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata والقول بان العقيدة ليس فيها خلاف على الإطلاق غير صحيح، فإنه يوجد من مسائل العقيدة ما يعمل فيه الإنسان بالظن “Pernyataan bahwa tidak ada perbedaan dalam masalah akidah tidaklah benar, karena ada pembahasan-pembahasan akidah yang diamalkan berdasarkan dugaan kuat bukan sesuatu yang pasti.” Syarh Aqidah Assafariniyyah, hal. 308. 4. Contoh Perbedaan Pendapat Para Ulama Salaf dalam Masalah Akidah Untuk menguatkan apa yang telah kami utarakan di atas, kami akan memaparkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang mana perbedaan pendapat tersebut tidak menjadikan sebab untuk menyesatkan yang lain. a. Apakah syirik kecil sama hukumnya dengan syirik besar dalam hal ampunan? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah apakah syirik kecil seperti riya’ masuk dalam ayat ﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُۚ …..٤٨ ﴾ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ……” QS. An-Nisa’ 48. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat tersebut hanya membahas syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari islam, sedangkan syirik kecil masuk dalam kehendak Allah, kalau ingin Allah adzab kalau tidak, Allah ampuni. Syaikh bin Baz berkata أما الشرك الأصغر فهو أكبر من الكبائر، وصاحبه على خطر عظيم، لكن قد يمحى عن صاحبه برجحان الحسنات “Adapun syirik kecil, maka dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya, pelakunya berada dalam bahaya. Namun, bisa saja dosanya dihapuskan dengan banyaknya pahala.” Majmu’ Fatawa ibnu Baz 1/48. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa syirik kecil masuk dalam keumuman ayat yang dosanya tidak diampuni, walaupun pelakunya masih dianggap sebagai seorang muslim. Syaikh Utsaimin berkata الشرك لا يغفر ولو كان أصغر، بخلاف الكبائر؛ فإنها تحت المشيئة “Dosa syirik tidak akan diampuni walaupun syirik kecil, berbeda halnya dengan dosa-dosa besar selainnya, sesuai dengan kehendak Allah.” Alqoulul Mufid 1/173. b. Hukum memakai tamimah berupa tulisan ayat alquran dan dzikir. Sebagian berpendapat bolehnya memakai tamimah dari ayat alquran sebelum turunnya musibah, ini pendapat Abdullah bin Amr bin Ash, sebagian lagi membolehkan setelah musibah melanda dan ini adalah pendapat Aisyah, dan sebagian lagi melarang secara mutlak dan ini adalah pendapat Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Qanun Ta’sis Aqdy, Hal 263. Dan masih banyak lagi contoh perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah akidah yang bersifat zhanny tidak pasti, yang tidak mungkin kita bawakan satu persatu. Dan kita tutup pembahasan ini dengan membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah وتَنازَعُوا فِي مَسائِلَ عِلْمِيَّةٍ اعْتِقادِيَّةٍ كَسَماعِ المَيِّتِ صَوْتَ الحَيِّ وتَعْذِيبِ المَيِّتِ بِبُكاءِ أهْلِهِ ورُؤْيَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ رَبَّهُ قَبْلَ المَوْتِ مَعَ بَقاءِ الجَماعَةِ والأُلْفَةِ. “Mereka para shahabat berbeda pendapat dalam masalah akidah, seperti apakah mayat bisa mendengar suara orang yang masih hidup, apakah mayat dihukum disebabkan tangisan keluarganya, apakah Muhammad ﷺ telah melihat Allah sebelum beliau ﷺ meninggal, kendati demikian persatuan dan perdamaian mereka tetap terjaga.” Majmu’ Fatawa 19/123. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله Senin, 7 Jumadil Akhir 1443 H/10 Januari 2022 M Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember ilmu hadits, Dewan konsultasi Bimbingan Islam Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى klik disini

KESELAMATANAQIDAH DAN MANHAJ ADALAH BAROMETERNYA. By Ukhuwwah Mahasiswa Salafy Oktober 16, “Ia memiliki karya tulis yang banyak dalam bidang fikih dan ushul, hal itu menunjukkan atas baiknya pemahaman dia (dalam hal fikih dan ushul) dan ilmunya yang mendalam.” Pemahamannya tentang permasalahan Ushul dan Furu' ternyata tidak
Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Paket 2 DASAR-DASAR AKIDAH ISLAMIYAH Pendahuluan Perkuliahan pada paket ini difokuskan pada konsep dasar akidah islamiyy>ah. Kajian dalam paket ini meliputi bebeapa pembahasan yang terdiri dari dasar-dasar normative dan filosofis keimanan islam, istilah us}hul dan furu’ dalam islalm, kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam serta gambaran mengenai sikap inklusif dalam berakidah. Paket ini merupakan pembahasan lanjutan dari paket sebelumnya yang mempuyai keterkaitan serta saling berhubungan. Dalam Paket 2 ini, mahasiswa akan mengkaji mengenai landasan normative dan filosofis keimanan islam, mengidentifikasi masalah us}hul dan furu’ dalam islam, menganalisis kerangka berfikir berbagai macam aliran serta upaya menampilkan sikap inklusif dalam berakidah. Sebelum perkuliahan berlangsung, dosen akan menampilkan video yang menggambarkan berbagai macam hal yang berhubungan dengan dasar-dasar akidah islamiyyah sebagai bentuk motifasi dan abstraksi terhadap mahasiswa terkait ilmu yang akan dipelajari dan dikaji. Mahasiswa juga nantinya akan mempelajari dengan cara pemberian tugas serta mendiskusikannya dengan media/ panduan lembar kegiatan. Dengan dikuasainya dasar-dasar dari Paket 2 ini diharapkan dapat menjadi modal pemikiran dasar bagi mahasiswa untuk mempelajari paket selanjutnya dengan materi yang lebih dalam dan spesifik. Penyiapan media pembelajaran dalam perkuliahan ini sangat penting. Perkuliahan ini memerlukan media pembelajaran berupa LCD dan laptopsebagai salah satu media pembelajaran yang dapat menjadi sarana bagi kemudahan belajar para mahasiswa. Serta kertas plano, spidol, solasi sebagi alat kreatifitas mahasiswa untuk membuat peta konsep sebagai manifestasi hasil belajar. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Rencana Pelaksanaan Perkuliahan Kompetensi Dasar Memahami dasar-dasar akidah islamiy>yah. Indikator Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat 1. Menjelaskan dasar-dasar normative dan filosofis keimanan Islam 2. Mengidentifikasi masalah Ushul dan furu’ dalam Islam 3. Menganalisis kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam 4. Menampilkan sikap inklusif dalam berakidah Waktu 3x50 menit Materi Pokok 1. Dasar-dasar normative dan filosofis keimanan Islam 2. Masalah Ushul dan furu’ dalam Islam 3. Kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam 4. Sikap inklusif dalam berakidah Kegiatan Perkuliahan Kegiatan Awal 20 Menit 1. Brainstroming dengan mencermati video mengenai dasar akidah islamiy>ah. 2. Memberikan gambaran tentang pentingnya mempelajari paket 2. Kegiatan Inti 100 menit 1. Membagi mahasiswa dalam 4 kelompok 2. Masing-masing kelompok mendiskuiskan sub tema a. Kelompok 1 dasar-dasarnormative dan filosofis keimanan islam b. Kelompok 2 konsep us}hul dan furu’ dalam islam c. Kelompok 3 kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam d. Kelompok 4 Sikap inklusif dalam berakidah 3. Presentasi hasil diskusi masing-masing kelompok 4. Setelah selessai presentasi tiap kelompok, kelompok lain memberikan klarifikasi, tanggapan, sanggahan atau pertanyaan. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah 5. Penguatan hasil diskusi 6. Dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyatakan sesuatu yang belum paham dan menyampaikan konfirmasi Kegiatan Penutup 20 Menit 1. Menyimpulkan hasil perkuliahan 2. Member dorongan psikologis, saran atau nasehat 3. Reflesksi hasikl perkuliahan oleh mahasiswa Kegiatan tindak lanjut 10 Menit 1. Member tugas latihan 2. Mempersiapkan perkuliahan selanjutnya Lembar Kegiatan Membuat Peta Konsep Mind Map Mengenai dasar-dasar akidah islamiy>yah. Tujuan Mahasiswa dapat memberikan gambaran/ konsep untuk membangun pemahaman dengan lebih mudah mengenai dasar-dasar akidah islamiy>yah melalui kreatifitas pengungkapan/ eksplorasi ide dari anggota kelompok yang dituangkan dalam bentuk Mind Mapping. Bahan dan Alat Kertas plano, spidol berwarna min 3 warna, dan solasi. Langkah Kegiatan 1. Pilihlah seorang pemandu kerja kelompok dan penulis konsep hasil kerja! 2. Diskusikan materi yang telah ditentukan dengan anggota kelompok! 3. Tuliskan hasil diskusi dalam bentuk peta konsep! 4. Tempelkan hasil kerja kelompok dipapan tulis/ dinding kelas! 5. Pilihlah satu anggota kelompok untuk presentasi! 6. Presentasikan hasil kerja kelompok dengan cara giliran, dengan waktu masing-masing kurang lebih 5 menit! Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Uraian Materi INTI AQIDAH ISLAMIAH A. Dasar-dasar Normatif dan Filosofis Akidah Dasar - dasar akidah Islam tidak lain adalah dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits sunnah rasul. Akidah Islam disusun atas dasar dalil – dalil dari dua petunjuk itu. Di dalam Al-Qur’an banyak disebut pokok – pokok akidah, seperti nama – nama dan sifat - sifat Allah, tentang malaikat, kitab - kitab-Nya, hari kiamat, syurga, neraka, dan Mengenai pokok – pokok atau kandungan akidah Islam, antara lain, disebutkan sebagai berikut                                Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat - malaikat-Nya, kitab - kitab-Nya dan rasul - rasul-Nya. Mereka mengatakan “Kami tidak membeda – bedakan antara seseorang pun dengan yang lain dari rasul - rasul-Nya”, dan mereka mengatakan “Kami dengardan kami taat.” Mereka Dasar- Dasar Akidah Islamiyah berdoa “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”2 Adapun penjelasan dari masing-masing dasar aqidah Islam tersebut adalah sebagai berikut; 1. Al-Qur’an Al-Qur'an adalah puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan dasar pokok akidah Islam yang paling utama. Al-Qur’an menjelaskan tentang segala hal yang ada di alam semesta ini, dari yang jelas sampai hal yang ghaib termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ajaran pokok tentang keyakinan dan keimanan. Sedangkan dasar-dasar akidah yang harus diimani oleh setiap muslim di antaranya                              “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.3 2 285 3 QS. An- Nisa 136 Dasar- Dasar Akidah Islamiyah 2. Al-Hadits Hadits adalah perkataan sabda, perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an yang mana kedudukannya hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Dalam agama Islam, ditegaskan bahwa hadits adalah hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an, baik sebagai sumber hukum dalam akidah ataupun dalam segala persoalan hidup manusia. Hadits memiliki fungsi sebagai pedoman yang menjelaskan masalah-masalah yang ditetapkan di dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum. Setidaknya ada dua alasan bahwa Hadits merupakan pedoman akidah Islam, yaitu a. Hadits yang bersumber dari Nabi Muhamad SAW, tidaklah semata-mata keluar dari hawa nafsu. Akan tetapi semata-mata berasal dari wahyu Allah SWT sebagaimana ditegaskan                “Dan tidaklah mengucapkan dari hawa nafsu. Tetapi yang diucapkan tidak lain hanya dari wahyu yang diwahyukan. Yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat”.4 Ayat tersebut berisi peringatan keras kepada orang-orang yang masih meragukan kebenaran Islam yang beliau sampaikan. Dengan adanya ayat tersebut, manusia diharapkan untuk memercayai Dasar- Dasar Akidah Islamiyah dengan sepenuh hati bahwa apa-apa yang diucapkan oleh Rasulullah SAW benar-benar berasal dari Allah SWT, bahwa Rasulullah SAW memiliki sifat shidiq benar. b. Allah SWT telah memberi petunjuk kepada manusia agar mengakui kebenaran yang disampaikan Rasulullah SAW. Sebagaimana firman-Nya                  “…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”5 Apa-apa yang disampaikan Rasulullah SAW. kepada manusia adalah petunjuk hidup dari Allah SWT. Termasuk akidah Islam. Oleh karena itu, setiap orang yang mengaku beriman kepada Rasul wajib mengikuti akidah yang diajarkan Rasulullah SAW. B. MasalahUs}hu>l dan Furu’ 1. Makna us}hu>l dan furu’ Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu us}hu>luddin dan Furu’ud>din. Us}hu>luddin biasa disingkat us}hu>l, yaitu Ajaran Islam yang sangat prinsip, pokok dan mendasar, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam us}hu>l dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan Dasar- Dasar Akidah Islamiyah dalam us}hu>l adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang furu>’uddin biasa disingkat furu>’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun tidak prinsip dan tidak mendasar, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam furu>’, karena perbedaan dalam furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ada dalil yang bisa di pertanggung jawabkan secara syar’i. Penyimpangan dalam us}hu>l tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati. 2. Contoh us}hu>l dan furu’ a. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra’ Mi’ra>j Rasulullah SAW adalah masalah us}hu>l, karena Dalilnya qot}h’i, baik dari segi wurud maupun dilalah. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’ra>j dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah furu’, karena Dalilnya z}honni, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’ra>j Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari us}hu>l aqi>dah. Namun barang siapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’ra>j dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah furu aqidah. b. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah us}hu>l, karena dalilnya q}ot}h’i, baik dari segi wurud maupun dilalah. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya z}honni, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban shalat lima waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari us}hu>l syari>’ah. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki dalil syar’i ia tidak sesat, karena masalah furu syari}’ah. c. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah ushul, karena Dalilnya qot}h’i, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya z}honni, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari us}hu>l akhlaq. C. Kerangka Berfikir Aliran - aliran Kalam Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula. Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengantakan bahwa perbedaan pendapat di dalam islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sabagai figur pembuat keputusan. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Abdul Rozak dan Rosihan Anwar membagi metode atau kerangka berpikir secara garis besar ada dua macam, dan prinsip-prinsipnya, yaitu 1. Kerangka berpikir rasional a. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas desebut dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qat}h’i b. Memberi kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. 2. Kerangka berpikir tradisional. a. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti z}an>ni b. Tidak memberi kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat. c. Memberikan daya yang kecil kepada akal. d. Status sosialnya seseorang ditentukan oleh status orang tuanya dan umumnya oleh status keluarga besarnya extented family, suku. Dan status ini tidak atau sukar berubah, walaupun orang yang bersangkutan hidup seperti benalu parasit atau berbuat sesuatu yang Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah Mu’tazillah. Oleh karena itu, Mu’tazillah di kenal sebagai aliran yang besifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyah. Disamping pengategorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyeleasaikan persoalan-persoalan kalam 6Abuddin Nata. Ilmu Kalam, Filsafat, dan tasawuf. Jakarta Rajawali Pers, Cet. I, 1993. 59-60. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah 1. Aliran Antroposentris Aliran Antroposentris mengangap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk meraih kemerdekaan pribadi naturalnya. Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah surga, sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula neraka. Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qodariyah, Mu’tazillah, dan, Syi’ah. 2. Teolog Teosentris Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos, personal, dan keturunan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada di kosmos ini. Ia dengan segala kekuasaan-Nya mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Di dalam kondisinya yang serba relatif, diri manusian adalah migran abadi yang segera akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan Dasar- Dasar Akidah Islamiyah realita tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaanya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula manusia akan menjadi sosok ang ideal, yang mampu memancarkan atribut - atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saat nanti akan menyelamatkan nasibnya dimasa yang akan datang. Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak Tuhan. Sikap kepasarahan menjadikan ia tidak mempunyai pilihan. Ailran teosentis menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan melalui perantara daya. Dengan perantaraan daya inilah , Tuhan mempunyai kehendak mutlak terhadap segala perbuatan manusia. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah Jabbariyah. 3. Aliran Konvergergensi atau Sintesis Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus nintra kosmos, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat lain yang dikotomik. Ibn Arabi manamakan sifat-sifat semacam ini dengan insijam al-azali/ preestabilis hed harmony. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjali atau cermin asma dan sifat-sifat realitass mutlak itu. Bahkan, seluruh alam kosmos, termasuk manusia, juga merupakan cermin asma dan sifat-Nya yang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali. Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu serba ganda, baik secara subtansial maupun formal. Secara subtansial, sesuatu mempunyai nilai - Dasar- Dasar Akidah Islamiyah nilai batini, huwiyah, dan eternal qadim karena merupakan gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah pofan dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law hukum alam yang berlaku. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan dengan determinisme transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam ktegori ini adalah Asy’ariyah. 4. Aliran Nihilis Alran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini
TerjemahTashilul Wushul ila ats-Tsalatsatil Ushul (Ushul Tsalasah dalam bentuk Tanya Jawab) Penulis: Asy-Syaikh Muhammad ath-Thayyib al-Anshari. Bagi yang menginginkan kitab asli dalam bahasa Arab dengan harga terjangkau (saat ini potongan 50%) silakan join channel telegram Imam Bukhori pada Syarah Aqidah Thohawiyyah: Al-Hidayatur Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathi’ Al-Adillah karya As-Sam’ani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, I’lam Al-Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafi’i yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Pembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syar’i pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam dan para tabi’in serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijma’, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan hadits Mu’adz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushul”. [Majmu’ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau “Ma’alim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masa’il Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota hai’ah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhtha’ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furu’, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan ta’lil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut mu’tazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul “Aara’ Al-Mu’tazilah Al-Ushuliyah”. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafi’iyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan “Ilmu ini adalah produk orang-orang mu’tazilah” dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari ha’iah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebid’ahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, Ijma’ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir “apakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?” Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fida’ Munadzir Abdul Lathif Hukumhukum syar’iah diantaranya ada yang bersinggungan dengan aqidah atau ushul, juga ada yang berkaitan dengan furu’ atau cabang. Dalam masalah aqidah seperti ma’rifatullah, tauhid, dalil-dalil bukti kenabian dan rukun islam, adalah sesuatu yang qath’i, menurut jumhur dalam hal ini tidak boleh taqlid, dalilnya ialah : a) Kewajiban ArticlePDF AvailableAbstractThis paper aims to describe Takhrij as a medium for understanding the general rules established by imams that are built on the fiqh fiqh by induction and analyzing specific problems furu 'fiqhiyah, this is what the takhrij ushul means for furu'.Takhrij also means to resolve differences furu 'fiqhiyah with the ushuliyah rules originating from the imams. It is expected to find a law that does not have the proposition shara 'by returning it to the rules and ushul. With a literature study and comparative approach to descriptive analysis, it is found that fiqh takhrij is also used to recognize the law that comes from a priest in a problem that has no text. Its can be made by comparing it with the same furu 'problem with the texts qiyas, or comparing it with the understanding of Imam's texts or its generality. This is the furu takrij 'on furu'. Takhrij fiqh can be applied to contemporary problems such as loading and unloading insurance, inflation, copyright, furu 'and Syariah laws' in contemporary matters. The development of takhrij fiqh is dependent on the interaction of theory and practice in the existing field to produce solutions to contemporary problems. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam Vol. 5. No. 1, Mei 2020, 51-70 P-ISSN 2548-3374 p, 25483382 e DOI Takhrij Fikih dan Permasalahan Kontemporer Meirison Alizar Sali Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol Padang meirison Desmadi Saharuddin Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rosdialena Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol Padang rosdialena Received 18 Februari 2020 Abstract This paper aims to describe Takhrij as a medium for understanding the general rules established by imams that are built on the fiqh by induction and analyzing specific problems furu’ fiqhiyah, this is what the takhrij ushul means for furu'. Takhrij also means to resolve differences furu’ fiqhiyah with the ushuliyah rules originating from the imams. It is expected to find a law that does not have the proposition shara’ by returning it to the rules and ushul. With a literature study and comparative approach to descriptive analysis, it is found that fiqh takhrij is also used to recognize the law that comes from a priest in a problem that has no text. Its can be made by comparing it with the same furu’ problem with the texts qiyas, or comparing it with the understanding of Imam's texts or its generality. This is the furu’ tahkrij 'on furu'. Takhrij fiqh can be applied to contemporary problems such as loading and unloading insurance, inflation, copyright, and syariah laws in contemporary matters. The development of takhrij fiqh is dependent on the interaction of theory and practice in the existing field to produce solutions to contemporary problems. Keywords Problems, Takhrij Fikih, Contemporary Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan takhrij sebagai media untuk memahami kaidah umum yang ditetapkan oleh para imam yang dibangun di atas furu’ fikih dengan cara induksi dan menganalisis permasalahan khusus furu’ fiqhiyah, inilah yang dimaksudkan takhrij ushul atas furu’. 52 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Takhrij juga bermakna menyelesaikan perbedaan furu’ fiqhiyah dengan kaidah ushuliyah yang berasal dari para imam. Diharapkan dapat menemukan hukum yang tidak ada dalil syaranya dengan cara mengembalikannya kepada kaidah dan ushul. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan pendekatan komparatif analisis deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa takhrij fikih juga digunakan untuk mengenal hukum yang berasal dari imam dalam masalah yang tidak ada nasnya dengan membandingkannya dengan permasalahan furu’ yang sama yang ada nashnya qiyas, atau membandingkannya dengan pemahaman nash-nash imam atau generalitasnya. Ini adalah takhrij furu’ atas furu’. Takhrij fikih ini dapat diterapkan pada permasalahan kontemporer seperti asuransi bongkar muat, inflasi, hak cipta, dan hukum-hukum syara dalam permasalahan kontemporer. Perkembangan takhrij fikih ini bergantung kepada interaksi teori dan praktik di lapangan yang ada sehingga membuahkan solusi bagi masalah kontemporer. Kata Kunci Permasalahan, Takhrij Fikih, , Kontemporer Pendahuluan Perubahan adalah sifat alam yang selalu ada, khususnya di bidang takhrij fikih yang memiliki banyak faedah yang harus kembali dilakukan telaah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru baik yang dihadapi oleh umat Islam dalam keseharian secara individu, kelompok dan negara di berbagai bidang sosial budaya, politik, ekonomi dan keamanan. Yang terpenting dalam pembahasan ini adalah memunculkan bahwa Syariat Islam mempunyai solusi sejalan dengan perkembangan zaman bagi mukallaf dalam segala dimensi ruang dan waktu. Penyelesaian secara syar’i akan memberikan dampak positif terhadap kejiwaan seorang muslim yang mendapatkan penyelesaian yang Islami dan terbebas dari beban moril yang membelenggu jiwa seorang muslim. Syariat Islam mempunyai banyak instrumen dalam menyelesaikan banyak perkara-perkara kontemporer. Warisan Fiqh dan kaidah serta pola-pola ijtihad ulama masa lalu sangat membantu dalam memberikan solusi hukum yang dihadapi oleh umat Islam, yang diselaraskan dengan maqashid syari’ah dan dibantu oleh Qawaid al-Lughawiyah dalam memahami naskah-naskah dan teks-teks syar’i. Termasuk takhrij fikih yang merupakan bias dari Alquran, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Sad a-Zair’ah, Qaulu as-Sahabi, dan Syar’u man Qablana. Usaha-usaha para ulama seperti Bahusain telah menampakkan hasil dengan lahirnya buku-buku tentang takhrij fikih. Pada abad ke 4 hijriyah. Ibnu Khaldun mengatakan, mazhab yang empat berdiri di atas ushul al-millah yang tidak terlepas dari khilafiyah bagi para pengikut yang berpegang kepada hukum-hukumnya yang berasal dari nusus syar’iyah dan ushul fiqh. Para ulama melakukan perdebatan dalam melakukan justifikasi terhadap mazhab mereka. Dalam perdebatan ini didapatkan dalil-dalil dan landasan pemikiran para imam dan pengikut mazhab masing-masing. Hal ini sangat penting untuk Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 53 diketahui agar para pemikir dan ulama dapat mengetahui kaidah dan metode yang dilalui oleh para imam mazhab serta para pengikutnya untuk melakukan istinbath hukum. Para pengikut mazhab mentakhrij pendapat-pendapat imam-imam bereka beserta dalil-dalil yang digunakannya. Takhrij terhadap pendapat para imam telah nampak jelas dalam karya-karya Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, dan Abdurrahman bin Qasim, Ashub dan Sahnun. Tidak hanya sampai di situ para ulama Mazhab Syafiiy juga melakukan takhrij tersebut seperti ar-Rabi bin Sulaiman dan Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal, al-Mazuri dan para ulama mazhab Hanbali lainnya. Hasil pemikiran dari takhrij ini disusun oleh ad-Dabusi wafat 430 H yang bernama Nazar at-Tasis. Seabad setelah itu disusunlah buku yang terperinci yang berjudul Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul yang disusun oleh Syihabuddiin Mahmud bin Ahmad al-Zanjani as-Syafiiy wafat 656 H. Dengan mempelajari literatur ini secara komparatif penulis melakukan analisis konten dan menjelaskan keterkaitannya dengan permasalahan kontemporer. Sehingga pendapat imam mazhab masih dapat berlaku dalam menghadapi permasalahan kontemporer sesuai dengan kaidah mazhab. Pembahasan Sesuai dengan tata bahasa kaidah lughawi, kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata yang artinya adalah mengeluarkan, memisahkan dari bagian atau kelompok, arti lainnya adalah penghasilan yang mempunyai makna konotasi menghasilkan makna majazi dan hisi. Secara terminologi, menurut Ibn Taimiyah ra, takhrij adalah و mengalihkan hukum dalam masalah kepada permasalahan yang mempunyai kesamaan dalam beberapa aspek sehingga dapat disamakan hukumnya. Terminologi ini juga dinyatakan oleh al-Mardawi dan Ibn Badran. Ibn Farhun mereka menyatakan secara istilah, tentang takhrij adalah menghasilkan produk hukum suatu masalah dari permasalahan yang status hukumnya tertera dalam nash. al-Syekh Alawi al-Saqaf berpendapat, Ibnu Taiymiyah Ahmad Ibn Abdul Hiim, Al-Musawwidah, Muhaqqiq Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid Beirut Dar al-Kutub, 1987, h. 533. Syaikh Wali Allah al-Dahlawi Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, Al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, vol. 2 Beirut, Lebanon Dar al-Kutub Ilmiyah, 1987, h. 6. Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkh ila Mazhab al-Imam Ahmad Kairo Maktabah Ibnu Taimiyah, 1977, h. 56. Ibnu Farhun al-Maliki Ibnu Farhun al-Maliki, Kasyf Al-Naqab al- Hajib Fi Mushthah Ibn al-Hajib, Ditahqiq Oleh Hamzah Abu Faris Dan Abd al-Salam al-Syarif Rabath Dar al-Gharb al-Islami, 1990, h. 56. 54 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 takhrij adalah aksi fuqaha’ mazhab menyamakan hukum dari pendapat imam mereka dengan satu bentuk permasalahan baru yang serupa. Definisi yang mirip juga dinyatakan oleh Syekh Muhammad Riyadh takhrij adalah seorang mujtahid mazhab melakukan telaah terhadap sebuah permasalahan yang tidak mempunyai nash lalu ia mengqiyaskannya kepada permasalahan mempunyai nash. Dapat dipahami dari beberapa terminologi di atas, seperti yang dipaparkan oleh Syekh Yaqub al-Ba Husain dalam kitab karyanya yang berjudul al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,dapat ditangkap gambaran dari definisi-definis tersebut 1. Takhrij akan menghantarkan kepada ushul dan qa’idah yang dibangun para imam sebagai landasan yang mempunyai hubungan interaksi dengan hukum-hukum dalam masalah fikih yang dinukilkan dari mereka. 2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan fikih kepada qa’idah ushul. 3. Kadangkala takhrij sesuai dengan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, yang berarti interprestasi nash yang menghasilkan hukum terbatas al-istinbath al-muqayyad, maksudnya adalah menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah parsial yang tidak ada nashnya dan mengaitkannya dengan permasalahan yang mirip dengannya, atau dengan mengukurnya dengan menggunakan suatu kaidah tertentu dalam mazhab. 4. Adakalanya fuqaha’ mengembangkan makna takhrij yang mencakup makna penalaran illat al-ta’lil, atau memproyeksikan pendapat-pendapat yang dikutip dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat hukum yang telah ditetapkan oleh imam sehingga dapat digunakan untuk melakukan interpretasi terhadap permasalahan yang baru. Dapat disimpulkan dari penggunaan istilah takhrij oleh para fuqaha’ dan ahli ushul fikih sebagai berikut 1. Mentakhrij ushul atas/dari furu’. Mentakhrij furu’ atas ushul dengan metode induksi dilakukan analisa untuk sampai kepada kesimpulan umum. Ini adalah metode Hanafiyah dan metode para ahli Ushul dalam menyusun karya-karya mereka. Contohnya menurut Malikiyah yang mentakhrij pendapat imam Malik yang mengatakan ―al-amr lil faur” perintah disegerakan, walaupun Alawi al-Saqaf Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, I Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1404, h. 77. Muhammad Riyadh Muhammad Riyadh, Ushul Al-Fatwa Wa al-Qadha’ Fi al-Mazhab al-Maliki Maroko Matbaah al-Najah, 1416, h. 577. Syaikh Yaqub al-Ba Husain Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1414, h. 12-13. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 55 imam tidak menjelaskan hal tersebut pendapat tersebut tetap dinisbahkan kepada mazhabnya karena kaidah yang digunakan adalah kaidah yang disepakati oleh Imam, maka konsekuensinya naik haji adalah perkara yang harus disegerakan. 2. Takhrij Furu’ ala al-Ushul. Pendapat yang ditakhrij dari nash Imam Mazhab, berdasarkan kaidah dan illat-illat yang dipakai oleh para imam serta berusaha memecahkan atau memperkecil ruang lingkup khilafiyah dan dapat menemukan keabsahannya. 3. Takhrij Furu atas Furu’, hal ini dilakukan oleh pengikut para imam, yang dinukilkan darinya permasalahan yang terbatas yang kadangkala terdapat permasalahan yang belum dibahas, kemudian mereka mentakhrij furu’ yang lain. Sebagai contoh ditakhrijkan dari Imam Ahmad bahwa tartib berurutan dalam berwudhu tidak wajib, sedangkan imam Ahmad tidak pernah mengatakan hal tersebut akan tetapi para pengikutnya mentakhrij dengan cara qiyas. Mereka menukilkan dari Imam Ahmad bahwa berurutan dalam berkumur-kumur dan istinsaq tidak wajib maka mereka menqiaskannya terhadap seluruh anggota wudhu lainnya seperti tangan dan kaki. 4. Takhrij al-uhsul ala ushul, mentakhrij Ushul Fiqhiyah atas Ushuluddin dan yang kedua adalah mentakhrij kaidah ushuhuliyah dari kaidah ushuluddin. Sebagai contoh Syiah Rafidah. Mereka berpendapat bahwa para imam ma’sum terbebas dari dosa, maka segala perkataannya dapat dipercaya. Mereka tidak menjadikan hadits ahad sebagai landasan dalam aqidah karena mereka lebih mengemukakan akal dari naqal. Pembagian Takhrij Menurut Ulama Kontemporer Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya takhrij dapat dibagi tiga, yaitu melakukan takhrij ushul dari furu’, takhrij furu atas ushul dan takhrij furu dari furu. Dr. Saad al-Syatari menambahkan jenis yang keempat dalam takhrij, yaitu melakukan takhrij ushul atas ushul. Hal ini disebabkan sebagian kaidah ushul dilandaskan pada kaidah ushul yang lainnya yang mengikuti dan menjadi cabangnya. Pembagiannya adalah 1. Mentakhrij ushul dari furu’. Di antara bentuk takhrij adalah adanya interaksi antara ushul dan kaidah yang berasal dari para imam secara induktif dan mengikuti cabang-cabang fiqh yang diriwayatkan dari mereka, menjelaskan illat-illat yang terkait dengannya. Sebagai contoh dari takhrij ini adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu Yala al-Farra ra. dalam kitabnya yang berjudul al-Uddah yang dianggap Saad al-Syatari Saad al-Syatari, Al-Takhrij Baina al-Ushul Wa al-Furu Kairo Dar al-Hadits, 1989, h. 144–145. 56 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 sebagai acuan kitab-kitab ushul dalam mazhab Hanbaliyah. Imam Abu Yala sangat terdorong dalam menjelaskan pendapat Imam Ahmad tentang permasalahan ushul dan mengungkapkannya dari riwayat-riwayat yang diterima dari sang imam, lalu mengaitkan pendapat itu kepada imam Ahmad karena ia mentakhrij sesuai dengan kaidah sang imam. Bentuk takhrij ini memiliki beberapa faedah yang dapat dipetik oleh peneliti masalah kontemporer, diantaranya a. Adanya hubungan interaksi ilmu ini dengan kaidah-kaidah para imam, membuat para mujtahid yang menghadapi permasalahan kontemporer terbantu dalam mentarjih pendapat-pendapat dan memilih yang rajih atau yang terkuat berdasarkan kaidah tersebut. b. Ilmu ini dapat dijadikan alat untuk membantu mengetahui korelasi yang terdapat antara furu fiqh illat dapat diteliti dan dijelaskan dan diselaraskan dengan hukum yang ada pada furu, oleh karena itu terciptalah pemahaman yang konkret serta dapat menyesuaikan furu yang diriwayatkan dari para imam kepada ushulnya. c. Dengan adanya ilmu ini seorang alim dapat menarik kesimpulan dengan mentakhrij masalah-masalah dan cabang-cabang yang tidak mempunyai nashnya dari kejadian dan kasus terbaru sejalan dengan kaidah yang ditakhrij atau menemukan pendapat yang lebih muktamad. d. Takhrij ini memperkenalkan kepada mujtahid sumber dan rujukan ulama dalam istinbath dan ushul ijtihadnya yang membantunya dalam memahami sebab-sebab perbedaan pendapat Fuqoha. 2. Mentakhrij furu’ dari ushul Seperti yang telah di isyaratkan munculnya ilmu takhrij fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri pada pertengahan abad ke empat Hijriyah. Sejalan dengan maraknya perdebatan antara para pengikut mazhab fikih yang didorong oleh keinginan yang kuat untuk mencari landasan dari pendapat yang dikeluarkan oleh para imam mereka. Landasan atau ushul tersebut dijadikan batu loncatan untuk menetapkan kebenaran furu’ yang dibangun di atas dasar ilmiah yang benar. Penyebab pertikaian pendapat tersebut dapat membantu untuk mencari keterkaitan antara furu’ fikih yang beragam dan antara furu’ dan ushul yang telah dijadikan dasar dari furu’ itu sendiri. Hal ini dapat memperkuat kemampuan fikih dan pemahaman serta kemampuan melakukan Syekh Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan telah mengarang sebuah kitab sistematis untuk memunculkan ilmu ini, yang dia beri nama ―Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul‖, sebuah abstarksi risalah lengkap yang diajukannya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad ibn Saud, untuk mendapatkan gelar magister tahun 1415 H. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 57 istinbath hukum. Furu dapat dirunut kembali secara sistematis kepada usulnya. Permasalahan kontemporer dapat dianalisis dengan benar setelah ushul dari para imam dapat di tinjau ulang dengan benar Imam al-Zanjani berkata ―permasalahan furu’ akan dapat dianalisis dengan jelas yang mana semuanya berasal dari ushul yang benar, proses istinbath tidak akan dapat dipahami apabila hubungan antara hukum furu’ dan ushul-nya tidak bisa dipindai dengan benar dan jelas. Seorang alim tidak memiliki peluang atau tidak mungkin sama sekali menemukan cabangnya. Sebab masalah-masalah furu’ berdasarkan ushul mempunyai cabang yang sangat banyak dan setelah sampai kepadanya ushul yang diketahui berdasarkan penerapannya terhadap kasus-kaasus di lapangan secara beraturan. Barang siapa yang tidak mengetahui ushul dan kasus-kasusnya maka ia tidak akan mendapatkan Yakub al-Ba Husain mendefinisikan takhrij macam ini sebagai ―ilmu yang membahas tentang illat-illat atau sumber hukum syara untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan sebab-sebab pertikaian pendapat atau untuk menjelaskan hukum yang tidak ada nash dalil/keterangan dari para imam dengan memasukkannya furu’/perkara ke dalam kaidah dan ushul mereka‖. Sehingga pendapat tersebut atau hukumnya bisa dinisbahkan kepada mazhab dan imam. Usman ibn Muhammad al-Ahdhari bin Syausyan memberikan definisi ―Ilmu yang menjelaskan penerapan kaidah ushul dalam mengistinbathkan hukum syara yang praktis dari dalil-dalil yang tafsili terperinci‖. Ilmu takhrij furu’ di atas ushul mencakup sebagian penelitian dan masalah-masalah yang tidak keluar dari hakikat ilmu fiqh dan ushul serta bentuk korelasi antara keduanya, maka diantara masalah yang tercakup dalam ilmu ini antara lain a. Kaidah yang diperdebatkan keabsahannya kesahihan strukturnya dan legalitas pemakaian kaidah tersebut dalam penetapan hukum furu’. b. Cara mentakhrij dan menistinbathkan hukum-hukum syara dari dalil-dalilnya, terutama dari dalil yang diperselisihkan oleh para imam mazhab. c. Persyaratan bagi seorang mukharij yang mentakhrij nushus para imam dan kaidah-kaidah mereka d. Penyebab iktilaf para fuqoha’ e. Pemaparan yang berhubungan dengan para fuqaha’ yang mentakhrij hukum memakai kaidah para imam beserta persyaratan yang wajib dipenuhi. Sulaiman Majid Sulaiman Majid, Takhrij Furu’ Ala al-Ushul Kairo Maktabah Wafa, Sulaiman Majid, h. 167–68. 58 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 f. Penjelasan tentang hukum dan furu’ fikih dalam tinjauan pengungkapan hubungan antara keduanya dan menyelaraskannya dengan ushul imam atau ushul orang-orang yang mentakhrij yang telah menisbahkannya kepada imam mereka. Faedah yang didapatkan adalah mengenal sumber rujukan para imam dalam menghasilkan hukum sebuah perkara dan juga mengenal penyebab terjadinya perbedaan pendapat diantara mereka dalam kasus yang sama dan hukum yang berbeda. Buah dari ilmu ini adalah mentakhrij pendapat para imam berdasarkan kaidah dan ushul yang tidak terdapat dalamnya nash. Takhrij tidak akan bisa dilakukan tanpa mengetahui sumbernya yaitu naskah-naskah yang berisikan teks dari para imam serta kaidah yang digunakan oleh para imam itu sendiri dalam memunculkan sebuah hukum isthinbat hukum. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam istinbath hukum kontemporer diantaranya a. Ilmu menambah penguasaan terhadap fikih dan melatih pelajar dalam mengistinbatkan, mentarjih dan mengembangkan permasalahan yang disesuaikan dengan dalil-dalil yang didapatkannya. b. Ilmu ini memungkinkan seorang faqih memahami secara mendalam apa yang di pelajarinya dan ditelitinya dalam kitab fikih. c. Ilmu ini menghasilkan ilmu ushul dari sisi teoritisnya yang didapatkan dari lapangan secara aplikatif praktis sebagai buah yang muncul dari kaidah-kaidah ushul bahkan juga kaidah-kaidah fikih. d. Ilmu ini dapat sebagai acuan peneliti dalam menghadapi permasalahan kontemporer dalam memutuskan perkara syari. Hasil keputusan hukum dalam menghadapi berbagai perkara dapat saja berbeda yang bergantung kepada metode istinbath dan kasus yang dihadapi oleh para fuqaha’ dalam furu’ yang mereka istinbathkan. Hal ini akan menghasilkan hukum-hukum fikih yang beragam. e. Diantara manfaat takhrij adalah menyokong pendapat mujtahid dalam memunculkan hukum permasalahan kontemporer yang berkesinambungan dan akan memperkaya metode yang dipakai oleh para fuqaha’. 3. Mentakhrij furu’ atas furu’ Hukum fikih dibangun diatas kaidah dan ushul yang berbeda dan unsur-unsur lain seperti kaidah nahwu dan lughawiyah serta ketetapan-ketetapan yang ada di dalamnya seperti yang dilakukan oleh al-Asnawi 772 H dalam bukunya yang berjudul al-Kawkab ad-Durri fi Takhrij al-Furu’ al-Fiqhiyah ‗ala Masail an-Nahwiyah. Pendapat para imam dinukilkan oleh para pengikutnya yang menghasilkan cabang- cabang fikih furu’, ijtihad dan fatwa yang terkait dengan hukum-hukum peristiwa yang belum ditemukan jawabannya. Permasalahan yang Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 59 terkait dengan mu’amalah dan ibadah terus berkembang. Sedangkan nash-nash yang ada terbatas sehingga dengan metode takhrij ini diharapkan dapat menjawab tantangan zaman dan sebagai pembutkian bahwa syariat Islam sesuai dengan perubahan zaman dan tempat dalam berbagai dimensi kehidupan. Dr. Yaqub al-Ba Husain mendefinisikan takhrij istilah ―Ilmu yang menghasilkan pengetahuan tentang pendapat para imam dalam masalah- masalah furu’yang tidak ada nashnya dari mereka dengan cara menghubungkannya dengan hukum yang serupa ketika keduanya memiliki illat hukum yang sama. Bisa juga dengan menselarakannya dalam keumuman pernyataan atau pemahaman keduanya, atau mengambilnya dari perbuatannya atau taqrirnya taqrir sang imam.” Definisi lainnya adalah ― Ilmu dalam memahami pendapat para imam mazhab dalam permasalahan yang baru yang telah terjadi dengan memperluas cakupan hukumnya dalam perkara yang serupa dan illat yang sama dari berbagai cabang fiqh mereka yang sudah mu’tamad terpercaya .” Kaidah-Kaidah Takhrij1. Takhrij tidak dapat dilakukan apabila nash syari didapatkan secara nyata yang terdiri dari nash Alquran, ini adalah kaidah yang penting dalam melakukan takhrij nash-nash mazhab yang mendahulukan sumber yang mu’tabar dan menghabiskan dahulu dalam menggali sumber utama yaitu Alquran, al-Hadits serta ijma. Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi ―Siapa yang ingin mentakhrij maka ia tidak boleh menyalahi sunnah atau mengeluarkan pendapat pada masalah yang ada hadisnya...juga tidak boleh menolak hadis atau atsar yang sesuai dengan pendapat suatu kaum karena adanya kaidah yang dia takhrij bersama pengikutnya.”2. Seorang pentakhrij hendaknya menguasai secara menyeluruh kaidah-kaidah dan furu’ mazhab. Takhrij yang dilakukan oleh seorang faqih tidak sah apabila ia tidak mengetahui kaidah dan ushul Ibn Shalah ‖Mujtahid dalam mazhab al-Syafi’i misalnya, artinya mujtahid takhrij, harus menguasai kaidah-kaidah mazhabnya yang dipakai dalam praktek qiyas dan dan tatacara penerapannya.” Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin, h. 178–179. Ibnu Amir al-Haj Ibnu Amir wa al-Haj, At-Taqrir Wa Tahbir Kairo Maktabah an-Nasr, 2014, h. 155–57. Abdullatif Hidayah Abdul Latif Hidayah, Nawazil Fiqhiyah Fi Al-Amal al-Qadha’i al-Maghribi Rabath Maktabah Rabath, 2017, h. 319. Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, 2 h. 62–63. Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 30 Kairo Dar al-Hadits, 1988, h. 257. 60 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Imam al-Qarafi berkata ―Seorang mufti tidak boleh mentakhrij suatu pendapat yang tidak ada nashnya dari pendapat yang ada nashnya kecuali ia sudah sangat menguasai kaidah-kaidah mazhabnya dan kaidah ijma’....” 3. Seorang mukharij haruslah menguasai ilmu ushul fikih secara mendalam dan telah terbiasa mempraktikkan qiyas sehingga dapat menghasilkan hukum yang benar dan sesuai dengan mazhab. Ia harus mengetahui ushul fikih secara umum dan qiyas khususnya. Kaidah ini mendorong Imam al-Qarafi melarang mukharij berfatwa bila ia tidak dibekali ushul fikih. Ia berkata ―orang yang tidak menguasai ushul fikih maka ia tidak diperbolehkan berfatwa, karena pastilah ia tidak mengetahui kaidah-kaidah furu’, mukhasas, muqayad menurut perbedaan bentuk-bentuknya...‖. Ia juga berkata ‖ Hendaklah Orang yang tidak menguasai ushul fiqh tidak mentakhrij furu’ atau permasalahan yang berasal dari ushul mazhabnya serta berbagai hal yang dinukilkan darinya, walaupun ia banyak menghafal nash-nash syariah dari kitab dan sunnah serta perkataan, pendapat dan hukum yang berasal dari sahabat. Begitu juga orang yang tidak mengetahui ushul fiqh, haram atasnya melakukan qiyas dan mentakhrij dari masalah yang ada nashnya, bahkan haram baginya melakukan istinbath hukum dari nash-nash syariah karena menggali furu’ diperlukan bekal ushul fiqh yang dalam, baik ia seorang mujtahid dalam tingkat tertentu maupun muqalid. 4. Mukharrij harus mempunyai kemampuan untuk mendapatkan sumber yang terkait antara furu’ dengan ushul mazhabnya. Hal yang senada dikatakan oleh al-Amidi ―pendapat yang terpercaya adalah seorang mujtiahid mazhab boleh menggali atau memunculkan pendapat mujtahid mutlak yang diikutinya, itulah bedanya ia dengan orang yang awam. 5. Mukharrij menguasai faktor-faktor eksternal terhadap hukum dan furu’-furu’ fikih diantara cabang-cabang. Ini kaidah penting juga dalam praktik takhrij, dimana seorang pentakhrij mewaspadai adanya faktor-faktor yang merusak keabsahan takhrij atau yang akan merusak suatu hukum dalam bentuk nasakh, takhshis, dan taqyid, atau menafikan tujuan takhrij dan menyempurnakan pengetahuan faktor-faktor tersebut hendaklah dengan merujuk pembahasan ushul fikih. 6. Seorang alim hendaknya dapat memahami perbedaan furu’ di antara cabang furu’ peristiwa atau permasalahan yang terjadi dengan furu’ yang akan di takhrij baik dalam hukum maupun maqhasid-nya. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah ―persyaratan takhrij adalah antara kedua permasalahan harus sama karakternya dan tidak ada pembeda diantara keduanya. Takhrij yang dilakukan terhadap pendapat para imam mazhab haruslah dari sumber yang diakui oleh para ulama‖. Ada beberapa sumber pendapat imam-imam mazhab antara lain 1. Nash imam dan yang semisalnya, ada dua cara untuk mengetahuinya a. Dari buku karya para imam yang dinisbahkan kepada mereka dan segala bentuk karya mereka yang diakui secara mutawatir dan shahih, seperti al- Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 61 Muwattho yang disusun oleh Imam Malik dan al-Umm karya Imam al-Syafii, dan yang lainnya. b. Kutipan pendapat mereka oleh para pengikutnya dalam berbagai masalah yang berbeda. 2. Pemahaman nash imam, yaitu mentakhrij berdasarkan pemahaman perkataannya dalam dilalah lafaz yang wadh’i atau iltizami. 3. Kebiasaan dan perbuatan yang dilakukan oleh para imam, perbuatan tersebut terkait dengan hukum, diperbolehkan, diwajibkan, dimakruhkan dan yang dilarang. 4. Persetujuan Taqrir Imam, yaitu tidak adanya sanggahan dari mujtahid terhadap apa yang dilakukan dalam pengetahuannya atau langsung dihadapannya seperti fatwa yang berasal dari orang lain tentang berbagai masalah dan hal ini dibenarkan oleh sang imam. 5. Hadis mutawattir dan sahih. Ilmu Takhrij al-Furu’ atas al-Ushul, berasal dari empat ilmu yaitu1. Ilmu Ushul al-Fiqh sebagai dasar utama 2. Ilmu Bahasa Arab yang terkait dengan pembahasan Ushul Fiqh seperti dilalah petunjuk lafaz dan qawaid al-Lughawiah 3. Ilmu Fikih, dengan menganalisis furu fikih akan mendapatkan kesimpulan yang dipandu oleh kaidah ushul fiqh mazhabnya. 4. Ilmu al-Khilaf, karena timbulnya ilmu takhrij didasarkan kepada keinginan mengikuti para imam dan menerangkan kebenaran furu fiqh mazhab mereka yang berasal dari kaidah dan ushul yang mutabar dan mereka konsekuen kaidah tersebut. Secara ringkas proses penetapan hukum dalam sebuah permasalahan dapat dilihat dari penjelasan berikut Seorang faqih apabila berijtihad dalam mentakhrij, perkataan para imam mazhab dan telah banyak pengalamannya dalam jenis ijtihad yang seperti ini, maka dia akan lebih mampu dalam melakukan istinbath hukum dalam perkara hukum kontemporer yang didapatkannya. Ia tentunya lebih mengetahui pendapat para Imam yang lebih kuat dan lebih rajih. Maka ia berpegang kepada pendapat yang rajih berdasarkan sumbernya dan dalilnya. Ia akan mudah dalam mengeluarkan fatwa dan mendapatkan jalan pintas walaupun ia belum lagi Jamaluddin Mahmud Jamaluddin Mahmud, Ijtihad Jama’i Fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah Abu Dhabi Jamiah Imarat, h. 392–395. Seorang mujtahid mazhab menganalisis masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab 62 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 mencapai derajat mujtahid mustaqil. Imam bin Shalah mengatakan" dibolehkan bagi mukharrij, untuk berfatwa apabila tidak ada hukum yang ada nashnya tentang perkara tersebut dari Imamnya, yang telah ditakhrij menurut mazhabnya. Ini adalah perbuatan yang benar. Daripada menunggu waktu yang lama. Seorang mujtahid dalam mazhab as-Syafi'i misalnya, menguasai qaidah-qaidah mazhabnya, terlatih dalam qiyas dan standar prosedur , ia lebih mampu melakukan penyamaan perkara yang ada nasnya dengan yang tidak ada nashnya sejalan dengan qaidah mazhab yang dianutnya. Sebagaimana kedudukan mujtahid mustaqil dalam melakukan proses qiyas menyamakan perkara yang mempunyai nash dengan yang tidak karena ada persamaanan dalam illat. Apabila seorang mujtahid mendapatkan qaidah-qaidah dan ketetapan yang sudah baku yang berasal dari para imam dalam mazhabnya sedangkan ia belum mendapatkannya melalui dalil-dalil syara' secara tersendiri, kemudian ia melakukan takhrij berdasarkan kaidah yang berasal dari imamnya. Berarti ia berpegang kepada perkataan dan kaidah imam bukan sebagai seorang yang berijtihad bebas. Melakukan takhrij lebih mudah dari pada melakukan istinbath hukum bagi seorang mujtahid mustaqil. Berdasarkan ini kebanyakan para ahli ushul membolehkan seorang Mukharij, berfatwa merupakan jenis dari ijtihad yang diakui . Tidak ada salahnya kita melihat bagaimana seorang melakukan takhrij, serta menerangkan cara dan metode yang ditempuhnya dalam memecahkan perkara-perkara kontemporer yang yang paling penting dalam takhrij adalah qiyas, sedangkan penukilan, sedangkan menukilkan dan takhrij serta mengikuti mazhab imam, ia merupakan bagian atau cabang dari metode qiyas. Metode ini sedikit digunakan dalam melakukan takhrij terhadap perkataan para imam melalui qiyas atas perkataan tersebut. Oleh karena itu kita mencukupkan saja penjelasan metode ini yang merupakan bagian dari takhrij sendiri dan tidak membahas metode-metode Takhrij dengan Qiyas Jumhur fuqaha beranggapan metode ini adalah cara paling penting untuk dijadikan media dalam mengenal hukum syara' yang tidak ada nasnya sama sekali. Mereka menganggap metode ini adalah penyingkap hukum yang tidak ada lafaz/dalil apapun yang membahasnya atau menetapkannya. Keterangan tentang umum dan khususnya hukum dalam permasalahan pun tidak ada, maka dalam keadaan seperti ini qiyas sangat diperlukan. Hukum takhrij beragam sesuai Abdu Rabb an-Nabi Abdu Rabb an-Nabi, Dustur Al-Ulama’, vol. 2 Beirut, Lebanon Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah, vol. 2 Makkah Universitas Umm al-Quta, h. 556. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 63 dengan jenis qiyas yang digunakan dalam proses takhrij tersebut. Kita akan membahas tiga jenis, yang terpenting adalah1. Apa yang telah diputuskan bahwa tidak terdapat perbedaan Jumhur Ushuli berpendapat apabila telah diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara masalah yang tidak ada nashnya dengan permasalahan yang sama yang dalamnya terdapat pendapat imam. Dalam hal ini boleh menisbahkan hukumnya kepada pendapat imam, dan hukum tersebut dikaitkan dengan mazhabnya. Akan tetapi hendaklah seorang mujtahid mengkonfirmasi dengan pasti bahwa permasalahan yang akan diputuskan hukumnya tidak ada perbedaan sama sekali dengan hukum yang ada pendapat imam dalamnya. Dengan kata lain adanya persamaan yang sempurna dalam kedua permasalahan tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Husain al-Basri, Imam Haramain al-Juwaini, Abu Ishaq as-Syirazi, Ibnu Qudamah, at-Thufi, dan para ahli Ushul lainnya. 2. Jumhur Ushuli membolehkan untuk mentakhrij illat yang ada dalam Nash Imam, atau apa yang diisyaratkan oleh imam itu sendiri, pendapat ini sesuai dengan Hasan bin Hamid, dan Abu Husain al-Basri, Abu al-Khatab, Ibnu Qudamah, Ibn Taimiyah. Karena barangsiapa yang membolehkan takhrij secara mutlak maka ia akan membolehkan juga takhrij atas nash-nash yang illatnya telah diisyaratkan oleh imam. Hal inilah yang menjadi prioritas utama karena telah ada petunjuk langsung dari sang imam. Sebagian fuqaha yang membolehkan takhrij seperti ini, akan tetapi mereka tidak membolehkan untuk menisbahkan hasilnya kepada pendapat imam secara langsung. Walaupun begitu mereka masih menganjurkan untuk mengatakan, ―hal ini sesuai dengan ketentuan mazhabnya". Sebagaimana Ibnu Abidin Rahimahullah membolehkan hal tersebut. Sedangkan Imam Abu Ishaq as-Syirazi Rahumahullah, membantah kebenaran pendapat itu, ia mengatakan ―perkataan seorang manusia haruslah ada buktinya, atau ada sesuatu bukti yang sama kedudukannya dengan nash sebagai bukti perkataannya. Kalau tidak ada dalil yang membuktikannya maka tidaklah sah mengatakan itu pendapatnya. Oleh karena itu Imam as-Syafi'iy tidak menisbahkan pendapat apapun kepada orang yang diam tidak menyatakan pendapat.3. Illat yang didapatkan melalui cara isthinbat Melakukan takhrij atas mazhab imam dengan qiyas yang diistinbatkan dengan illat kelihatannya lebih rumit daripada cara terdahulu, ulama pun berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan cara ini. Yaitu Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Jilid 2 h. 557–58. Hasan bin Hamid adalah Imam Mazhab Hambali, guru Qadi Abu Ya'la, mendengar banyak riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal melalui karya-karyanya, al-Jami' fi al-Mazhab, Ktiab fi Hushul al-Fiqh, dan dalam Ushuluddin,. Ia wafat pada tahun 403 H. Ibnu Abidin Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dur al-Mukhtar Beirut, Lebanon Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1990, h. 161. 64 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 a. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh menisbahkan pendapat hasil istinbat illat kepada imam. Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Bakar Khilal Rahimahullah, Abu Bakar Abd al-Aziz al-Baghwi yang dikenal sebagai Hamba Khilal Rahimahullah, dan sebagian para Ulama Hanbali. Pendapat ini adalah zahir dari perkataan Abu Husain al-Basri, Abu Ishaq as-Syirazi. b. Sesuatu yang diqiyaskan terhadap perkataan imam dianggap mazhabnya adalah sah untuk menisbahkan hasil istinbat qiyas tersebut kepadanya. Dr. Al-Bahusain telah menasabkan kepada jumhur ulama, yang juga merupakan ikhtiar Abu Bakar al-Atsram, al-Kharqi, sedangkan Imam Juwaini dan Ibnu Shalah cenderung kepada pendapat tersebut. Orang-orang yang berpendapat seperti itu dengan berbagai dalil dan alasan; 1 Qiyas bukanlah mantuq makna yang diambil dari lafaz/operatif dan tidak dinisbahkan kepada seseorang sesuatu yang tidak pernah dikatakannya atau dilafazkannya. Dalam kaidah dikatakan, tidak dinisbahkan kepada orang yang diam pendapat apapun. 2 Penisbahan terhadap mazhab imam dengan jalan qiyas tidak dapat menyatukan memberikan batasan dengan pasti 3 Kemiripan yang sempurna terhadap kedua permasalahan, boleh jadi tak terlihat pada waktu itu bagi sebagian mujtahid, akan tetapi boleh jadi bagi sebagian mujthahid lagi dapat menemukan perbedaan antara kedua masalah tersebut. Dalil Kelompok yang tidak setuju dengan pendapat ini telah dibahas sebagai berikut a. Mereka mengatakan qiyas bukanlah jenis dari perkataan, dan tidak dinisbahkan perkataan kepada orang yang diam. Hal ini tidak sama dengan illat yang dikeluarkan dari nash. Karena penunjukan illat dalam sebuah nash berkedudukan sama dengan penunjukan nash terhadap hukum penentuan hukum dengan menggunakan nash yang jelas. Hal ini tidak sama dengan diamnya seseorang dalam sebuah hukum yang harus diputuskan, bahkan penunjukan illat dalam sebuah nash sama kedudukannya dengan mantuq makna tersurat/tertera pada nash dengan jelas/operatif. b. Pendapat orang-orang yang tidak setuju dalam penetapan mazhab imam dengan jalan qiyas tidak punya batasan yang pasti , membutuhkan penjelasan lagi. Sebuah qiyas haruslah mengumpulkan dan membatasi illatnya, kalau tidak terdapat pengumpulan dan pembatasan mana mungkin qiyas bisa dilakukan. c. Pendapat yang mengatakan terdapat perbedaan antara permasalahan yang ada nasnya dengan permasalahan yang akan ditakhrij disesuaikan karena ada persamaan illat dalam istinbat illat, akan tetapi para ulama telah memberikan persyaratan tentang sahnya takhrij yaitu adanya persamaan yang sempurna dan tidak ada perbedaan sama sekali. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 65 Adapun dalil dari pendapat kedua a. Qiyas yang dikeluarkan terhadap nash-nash imam diqiyaskan pada mujtahid mutlaq dalam mengisitnbatkan hukum syara' dengan qiyas terhadap nash-nash syara' perbandingan qiyas dengan nash-nash syara' dengan qiyas terhadap nash-nash imam. Bahkan seorang mukharij lebih mampu melakukan penyamaan dengan ushul mazhab dari seorang mujtahid dalam melakukan qiyas dengan menggunakan dasar-dasar syari'at. Karena mazhab-mazhab telah membentangkan dan mengatur sistim yang harus dilalui dalam proses qiyas serta faktor-faktor penyebabnya. Mudah bagi mukhrij melakukannya apa yang tidak mudah melakukannya bagi mujtahid mutlak. b. Buku-buku yang disusun fuqaha berdiri diatas takhrij, karya-karya para fuqaha telah menjadi saksi terhadap takhrij. c. Kalau tidak dilakukan qiyas terhadap perkataan para imam maka banyak dari permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi menjadi terbengkalai. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bantahan terhadap kelompok yang membolehkana. Menjadikan nash-nash imam sederajat dengan nash-nash syara' dan menyamakan mujtahid dengan Syari' Pencipta Hukum, tidak bisa diterima secara mutlak. Karena syari' dijadikan ibadah dengan hanya membaca nash-nashnya. Dijadikan ibadah dalam melakukan istinbat hukum apabila dalam nash-nashnya didapatkan illatnya dalam suatu permasalahan. Pada permasalahan apapun apabila didapatkan persamaan illat kecuali telah didapatkan dalil yang menghususkannya untuk tidak dapat dijadikan dasar sebuah hukum. Perkara ini tidak ada atau tidak terealisasi dalam jiwa mujtahid yang hanya manusia biasa. b. Pekerjaan para fuqaha yang seperti ini, merupakan bagian dari takhrij yang memberikan kekuatan apapun terhadap dalil. Pertikaian antara para ulama terjadi kebanyakan disebabkan perbedaan persepsi dalam kebenaran takhrij yang dilakukan ketika dijadikan dalil atau dipakai untuk menetapkan sebuah hukum dalam mazhab c. Ketiadaan hukum bagi peristiwa-peristiwa kontemporer yang terjadi tidak selalu dapat dipecahkan dengan takhrij atas illat-illat dan perkataan para imam dan mengistinbatkan hukum dari perkataan serta pendapat imam tersebut. Pemecahannya adalah kembali kepada sumber asli dengan berijtihad dari dalil dalil dan qaidah-qaidah secara langsung, dengan melakukan persiapan dan pengadaan orang sanggup melakukan ijtihad tersebut. al-Warqiyah Abd ar-Raziq, Ad-Dhawabit at-Tanzili Beirut, Lebanon Dar al-Marifah, 2013, h. 25–29. Ibnu Nujaim Ibnu Nujaim, Al-Bahr Raiq Syarah Kanz Ad-Daqaiq Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islami, 2015, h. 216. 66 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Tarjih Telah dapat dilihat apa yang telah dipaparkan, berbagai dalil dari pihak yang melarang dan membolehkan takhrij. Pada dasarnya ijtihad dan istinbat mempergunakan dalil syara'. Pembolehan takhrij atas perkataan para imam merupakan pengecualian khusus yang diperbolehkan oleh para mujtahid mazhab-mazhab. Hal ini disebabkan sedikitnya mujtahid mutlak atau mustaqil, melemahlah kemampuan untuk beristinbat dari dalil syara' secara langsung. Takhrij ini diperbolehkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang membutuhkan kepastian hukum yang terjadi, yang sulit untuk dicari pemecahannya dari dalil-dalil syara' secara langsung. Atas dasar ini takhrij diperbolehkan, akan tetapi haruslah dilakukan dengan hati-hati, dalam melakukan takhrij atas perkataan para imam. Hendaklah perkataan imam ini mempunyai dasar syara' pula guna mendukung kebenarannya. Setidaknya terdapat illat yang jelas yang langsung dinyatakan oleh sang imam dalam memutuskan suatu Takhrij fikih terhadap beberapa kasus kontemporera. Asuransi Koperasi Cooperative Insurance dan Asurnsi Perdagangan Asuransi ini adalah asuransi yang beranggotakan sekelompok orang yang berpotensi menanggung risiko yang sama dan anggotanya membayar jumlah tertentu untuk mendapatkan uang santunan, apabila dikemudian hari salah seorang atau beberapa orang dari anggota asuransi koperasi ini menanggung risiko yang telah diprediksikan. Apabila iuran anggota kurang dari tanggungan musibah atau kerugian yang dibayarkan maka para anggota menambah iuran mereka akan tetapi kalau risiko yang ditanggung menimbulkan biaya yang lebih kecil daripada yang dibayarkan oleh anggota asuransi maka sisa uang mereka dikembalikan. Para anggota asuransi dalam hal ini tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan akan tetapi untuk meringankan musibah. Asuransi ini sangat jarang dipraktikkan pada zaman sekarang. Sedangkan asuransi perdagangan telah dibahas oleh Ibnu Abidin tentang pengamanan laut asuransi pelayaran dan keharaman asuransi yang sudah lama dilakukan oleh Umat Islam. Ahli Fiqh kontemporer berbeda dalam menetapkan hukumnya, karena berbeda dasar takhrij mereka dan tata cara penanganan masalah baru ini, diantara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang menghalalkan dan ada juga yang menghalakan beberapa jenis asuransi. Yang mengharamkan berdasarkan takhrij asuransi diqiyaskan kepada perjudian yang bermain dengan nasib manusia dan benda yang penuh dengan spekulasi tinggi. Ditambah lagi asuransi tersebut termasuk gharar atau transaksi gharar sebab berupa akad spekulatif yang juga mengandung riba. Sebagian lagi membolehkan seperti Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah, Jilid 2 h. 116. Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Jilid 2 h. 562–64. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 67 Abdul Wahab Khalaf, Ali Khafif dan Syaikh Mustafa Zarqa. Mereka menisbahkan asuransi perdagangan kepada maslahah al-mursalah yang tidak ada nash yang mengharamkan asuransi tersebut. Asuransi juga dapat diqiyaskan kepada aqilah keluarga penanggung diyat yang menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja. Aqilah ini yang membayarkan diyat pelaku pembunuhan tersebut dan mirip dengan asuransi yang juga sama dengan akad perwalian tersebut. Sedangkan sebagian lagi melarang asuransi jiwa dan membolehkan asuransi benda. b. Hak Kekayaan Intelektual Karya ilmiah, penerbitan dan distribusi/penjualan Hak-hak ini belum pernah ada hukumnya di kalangan fuqoha klasik. Pada masa lalu pengulangan hasil karya bukan sebuah larangan, akan tetapi setelah munculnya mesin cetak di Eropa telah membuahkan keuntungan luar biasa bagi penerbit sedangkan si pemilik karya tidak banyak mendapatkan keuntungan materil. Para fuqaha ada yang mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada pendapat dalam Fiqh Hanafi tentang Nuzul an Wazha’if bi Mal.Di antara mereka ada pula yang tidak menetapkan hak ini dengan mentakhrijnya kepada kemaslahatan menyebarkan pemikiran Islam dan melepaskannya dari seluruh pembatasan-pembatasan. Sebagian lagi ada yang memberikan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu dan setelah beberapa tahun berlalu hak itu menjadi milik orang banyak demi menyebarkan ilmu pengetahuan yang tidak boleh disembunyikan. c. Pentakhrijan pendapat Imam Syafiiy shalat al-Wusta adalah Subuh, akan tetapi terdapat hadits yang sahih yang mengatakan shalat al-Wusta adalah shalat Ashar, sedangkan kaidah mazhab adalah mengikuti Hadits . Maka jadilah sebuah keputusan mazhab bahwa shalat al-Wusta itu adalah shalat Ashar dan pengarang buk al-Hawi mengatakan tidak ada dua pendapat seperti yang dikatakan oleh para sahabat Meirison, ―Riba and Justification in Practice in Scholars Views,‖ TRANSFORMATIF 2, no. 1 September 20, 2018 348, Meirison Meirison, ―Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan Hukum,‖ Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 2014 Mazhab Hukum Islam Di Indonesia, September 25, 2017, Abdullah bin Ibrahim Musa, Al-Mu’awadhah Ala al-Huquq Ad-Dhawabit Wa Tatbiquha Kairo Syabab al-Azhar, 1988, h. 177. Kamaluddin Muhammad Muhammad Abdul Wahid, Fath Al-Qadir Ala al-Hidayah Beirut, Lebanon Dar al-Fikr, 1990, h. 257. al-Mawardi al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, vol. 2 Beirut, Lebanon Maktabah at-Turats al-Arabi, 1988, h. 321. 68 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Penutup Dapat diambil kesimpulan sesuai dengan pembahasan diatas, bahwa Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul adalah ilmu yang menerangkan kaidah ushuliyah yang dibangun oleh para imam, salah satunya adalah furu’ dalam fatwa, mengikatnya dan menyamakan dengan perkara yang sejenis dan tidak pernah difatwakan. Ruang lingkup ilmu takhrij al-furu’ ala al-ushul adalah qawa’id ushuliyah dan furu’ fiqhiyah, dari konstruksi yang kedua atas yang pertama penyamaan. Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul, mengenal konstruksi fikih yang dibangun oleh para imam, dan mengeluarkan hukum yang tidak ada nashnya, menumbuhkan kemampuan dan bakat dalam ilmu fikih, menerapkan ilmu ushul fikih dalam praktik nyata di lapangan, maka didapatkanlah hubungan antara fikih dan ushulnya. Kemudian menerangkan perbedaan pendapat ilmiah dan metode serta kaidah dalam istinbath. Hanya saja perkembangan ilmu ini sangat tergantung praktik hukum Islam yang diterapkan di lapangan sehingga terjadilah hubungan interaksi antara teori dan praktik. Sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan imam semata tidak dianggap sebagai bagian dari mazhab. Imam bukanlah seorang yang masum terlindung dari dosa, dan tidak bisa diqiyaskan kepada Nabi Muhammad Nabi terlindung dari kesalahan dengan adanya wahyu. Perbuatan imam penuh dengan spekulasi adakalanya benar dan adakalanya salah. Oleh karena ini seluruh penafsiran yang berasal dari mazhab bersifat zani yang tidak mengikat bagi seseorang untuk mengikutinya. Hal ini berbeda statusnya dengan kesepakatan imam dan perkataannya yang berasal dari pemikiran dan kesadaran penuh dalam melakukannya. Daftar Pustaka Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran. al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad. Kairo Maktabah Ibnu Taimiyah, 1977. Abdu Rabb an-Nabi, Abdu Rabb an-Nabi. Dustur Al-Ulama’. Vol. 2. 2 vols. Beirut, Lebanon Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010. Abdul Latif Hidayah, Abdullatif Hidayah. Nawazil Fiqhiyah Fi Al-Amal al-Qadha’i al-Maghribi. Rabath Maktabah Rabath, 2017. Abdullah bin Ibrahim Musa. Al-Mu’awadhah Ala al-Huquq Ad-Dhawabit Wa Tatbiquha. Kairo Syabab al-Azhar, 1988. Ahmad Ibn Abdul Haliim, Ibnu Taiymiyah. Al-Musawwidah, Muhaqqiq Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid. Beirut Dar al-Kutub, 1987. Alawi al-Saqaf, Alawi al-Saqaf. Al-Fawaid al-Makiyah. I. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1404. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 69 al-Warqiyah Abd ar-Raziq. Ad-Dhawabit at-Tanzili. Beirut, Lebanon Dar al-Marifah, 2013. Ibnu Abidin, Ibnu Abidin. Radd Al-Mukhtar Ala Dur al-Mukhtar. Beirut, Lebanon Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1990. Ibnu Amir wa al-Haj, Ibnu Amir al-Haj. At-Taqrir Wa Tahbir. Kairo Maktabah an-Nasr, 2014. Ibnu Farhun al-Maliki, Ibnu Farhun al-Maliki. Kasyf Al-Naqab al- Hajib Fi Mushthalah Ibn al-Hajib, Ditahqiq Oleh Hamzah Abu Faris Dan Abd al-Salam al-Syarif. Rabath Dar al-Gharb al-Islami, 1990. Ibnu Nujaim, Ibnu Nujaim. Al-Bahr Raiq Syarah Kanz Ad-Daqaiq. Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islami, 2015. Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah. Majmu’ al-Fatawa. Vol. 30. 30 vols. Kairo Dar al-Hadits, 1988. Jamaluddin Mahmud, Jamaluddin Mahmud. Ijtihad Jama’i Fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah. Abu Dhabi Jamiah Imarat, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani. Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah. Vol. 2. 2 vols. Makkah Universitas Umm al-Quta, Mawardi, al-Mawardi al-. Al-Hawi al-Kabir. Vol. 2. Beirut, Lebanon Maktabah at-Turats al-Arabi, 1988. Meirison, Meirison. ―Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan Hukum.‖ Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 2014 Mazhab Hukum Islam Di Indonesia, September 25, 2017. ———. ―Riba and Justification in Practice in Scholars Views.‖ TRANSFORMATIF 2, no. 1 September 20, 2018 348. Muhammad Abdul Wahid, Kamaluddin Muhammad. Fath Al-Qadir Ala al-Hidayah. Beirut, Lebanon Dar al-Fikr, 1990. Muhammad Riyadh, Muhammad Riyadh. Ushul Al-Fatwa Wa al-Qadha’ Fi al-Mazhab al-Maliki. Maroko Matbaah al-Najah, 1416. Musfir bin Ali bin Muhammad, Musfir bin Ali bin Muhammad. Manhaj Istinbath Ahkam Al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah. Jeddah Dar al-Andalus al-Khudhoro, 2003. Saad al-Syatari, Saad al-Syatari. Al-Takhrij Baina al-Ushul Wa al-Furu. Kairo Dar al-Hadits, 1989. 70 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Sulaiman Majid, Sulaiman Majid. Takhrij Furu’ Ala al-Ushul. Kairo Maktabah Wafa, Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, Syaikh Wali Allah al-Dahlawi. Al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah. Vol. 2. 1 vols. Beirut, Lebanon Dar al-Kutub Ilmiyah, 1987. Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Syaikh Yaqub al-Ba Husain. Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1414. ... According to monzer kahf, the primary function of Zakat is to achieve socioeconomic justice. Zakat is a simple transfer of a portion of a specific size for the rich muzaki to be allocated to the miskun mustahik Sali, Saharuddin, and Rosdialena 2020 . In the moral field, Zakat reduces greed and greed in the hearts of the rich. ...... They told this Azal incident to the Prophet while expecting the Prophet's guidance about the law. It turns out that the Prophet did not determine the law, while the revelation still coming down did not resolve the law Sali et al., 2020. ... Meirison MeirisonNurika PramestyRani Amelia GuchiThis paper aims to discuss contemporary problems precisely according to the contents of our article entitled recent issues in social life. Today, the current issues continue to develop following changes in increasingly sophisticated technology and global development. In modern times, there are many contemporary problems in society, such as marriage contracts by telephone, underhanded marriages, family planning and limiting the number of children, marrying pregnant women for adultery, homosexuals and lesbians, monogamy, and polygamy. The data has been verified previously by conducting a literature study, a qualitative approach, and descriptive analysis. From data processing with this method, a finding was obtained that Muslims must be able to think rationally and critically to address such matters and the need to revisit solutions according to Islamic law to solve these problems. Contemporary problems are not far removed from the classic problems faced by the previous Ulama, which have been discussed in the classic books they have written, such as the LGBT issue, issues around marriage such as birth control or family planning, and many other problems that fatwas can answer. Fatwas and fiqh opinions existed in the classical period, which only changed the social dimension and perspective in modern times. Keywords problems, contemporary, life, society, fiqh Meirison MeirisonAyu RustianaFikri MuhtadaMuhammad Abdul AzizThis article aims to find out the opinion of the imams of the mazhab regarding the law of Taklifi. The discussion of the law of Taklifi 'is one of several studies of Usul Fiqh. In fact, one of the main objectives of the study of Usul Fiqh is how to deduce the law of Taklifi 'from its sources and its current application. The method used in this work is to use descriptive analysis methods using literature studies from several reliable sources. The literature review results are that a Mukalaf uses Taklif laws to become a foundation in carrying out worship. Taklifi law, according to the understanding of language, is the law of giving a burden, while according to the term, it is Allah's commandment in the form of choices and demands. It is called Taklifi law because this command is directly about the actions of a Mukalaf Balig and common sense. The law of Taklifi has divisions; namely, Ijab is a word that demands to do an action with definite demands, Nadb is the word of God that demands to do an action with an uncertain action. Still, only in the form of a suggestion to do, Tahrim is a word that demands not to do an act with definite demands, Karahah is the word of God which demands not to do an action with uncertain demands, but only in the form of a suggestion not to do something. Worship is the word of Allah that gives freedom to Mukalaf to do or not to do something. Meirison MeirisonDarni YusnaOne of the biggest obstacles to applying Islam as a social system in the modern secular state is the dilemma of codifying the provisions of Islamic Sharia within the mold of the Western legal system. Methods of preparing and promulgating those laws. Islamic Sharia, in its essence, is spiritual and devotional, and its material legislation tends to organize society so that it is possible to establish the orders of religion, achieve its purposes for people, and reform their conditions in this world and the Hereafter. Therefore, Sharia does not know boundaries, geographical boundaries, and the boundaries between this world and the Hereafter. And because the purposes of Western legislation are, in essence, purely materialistic, it seeks to achieve immediate material benefit to society. It does not concern itself with the condition of people in the Hereafter. The invocation of the concept of the Hereafter is a limit. The same when discussing Western legislation may cause ridicule and belittling among its supporters; Therefore, the hegemony of Western legislation with its vocabulary over Islam would result in a significant dilemma. The imams who are followed and accepted by a group of people, or the scholars whom others trust and obey, are human beings who make mistakes and are right. Their rulings are necessarily and inevitably affected by the level of knowledge, intelligence, integrity, whim, error, ignorance, and bias. When applying these rulings, they naturally need authority compelling political and capable of executing and implementing the provisions. And this authority is gained power by predominance and control, or the people elect it. Thus, whoever decides legitimacy is either a dominant political-military authority or an elected politician protected by a social contract upon which all or most of the citizens agree!Makhsus MakhsusIlda HayatiHusnul Fatarib Desmadi SaharuddinBasically, a Muslim does not leave the Muslim community, but with the development of Islam many problems occur. The departure of the Prophet Yusuf from the Muslim community has been described in the Qur'an. He served various maturity processes under the guidance of Allah al-Mighty. The figure of the Prophet Yusuf has been depicted and immortalized as a shadow ruler who officially served as minister of finance, agriculture and head of the logistics affairs agency. The question arises whether a Muslim can become a non-Muslim leader who will later be neglected and will have a negative impact on the faith and syari'ah carried out by Muslim leaders who control non-Muslim governments. With literature study and content analysis approach, the writer describes the literature qualitatively about the status of Muslims who are in the midst of non-Muslims and vice versa, to dismiss the opinion of good kafirs who are more worthy of being leaders than evil and corrupt Muslims. A Muslim can become a leader in the midst of non-Muslims for the benefit and preaching of Islam as was done by the Prophet Yusuf who proved himself clean after leaving prison. The criteria for a leader in Islam are flexible enough that sometimes a Muslim who is not consistent with sharia rules can sometimes bring great benefits to Muslims. Not only that, many Muslim leaders who were very instrumental in protecting Muslims and spreading Islam in Russia such as Berke Khan have deployed infidel armies to protect Muslims from dasarnya seorang muslim tidak meninggalkan komunitas muslimnya, akan tetapi seiring perkembangan islam banyak masalah yang muncul. Hengkangnya Nabi Yusuf dari komunitas Muslim telah dijelaskan dalam Alquran. Dia menjalani berbagai proses pendewasaan di bawah bimbingan Allah swt. Sosok Nabi Yusuf telah digambarkan dan diabadikan sebagai penguasa bayangan yang resmi menjabat sebagai menteri keuangan, pertanian, dan kepala badan logistik. Timbul pertanyaan apakah seorang Muslim bisa menjadi pemimpin non-Muslim yang nantinya akan terabaikan dan berdampak negatif pada keimanan dan syari'at yang diemban oleh tokoh Muslim yang menguasai pemerintahan non-Muslim. Dengan pendekatan studi pustaka dan analisis isi, penulis mendeskripsikan literatur secara kualitatif tentang status umat Islam yang berada di tengah-tengah non-Muslim dan sebaliknya, untuk menepis pendapat seorang kafir yang baik lebih layak menjadi pemimpin daripada seorang Muslim yang jahat dan korup. Seorang Muslim bisa menjadi pemimpin di tengah-tengah non-Muslim untuk kemaslahatan dan dakwah Islam seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf yang membuktikan dirinya bersih setelah keluar dari penjara. Kriteria seorang pemimpin dalam Islam cukup fleksibel sehingga terkadang seorang Muslim yang tidak konsisten dengan aturan syariah dapat membawa manfaat yang besar bagi umat Islam. Tidak hanya itu, banyak pemimpin Muslim yang sangat berjasa dalam melindungi umat Islam dan menyebarkan Islam di Rusia seperti Berke Khan yang telah mengerahkan pasukan kafir untuk melindungi umat Islam dari purpose of this study was to ascertain the murafa’at fiqh Saudi Arabian Law and the Indonesian Criminal Procedure Code's perspectives on a convict's plea for i’adah al-nadzr reconsideration. This was a normative juridical inquiry, which entailed poring over relevant material to gather data, assess content, and draw similarities between positive law and Islamic criminal law. The findings of this study indicated that review in positive law, referred to in Saudi Arabia's murafa’at fiqh as i’adah al-nadzr/al-muhakamah, attempted to ensure legal justice and judge justice in their rulings. There were parallels between positive law and murafa’at fiqh in terms of the justifications for filing reconsideration. There were, however, distinctions regarding the giyabi case as a basis for submitting reconsideration. In Saudi Arabia's murafa’at fiqh, the reconsideration application in the giyaby case could be accepted, although positive law did not cite the giyaby ruling as a reason to seek reconsideration. Positive law, on the other hand, provides for the possibility of resistance verzet if the defendant was not present in court and has not protested Verstek's ruling. Another parallel between positive law and Saudi fiqh murafa’at was seen in the reconsideration application regulations, which prohibited suspending the execution of rulings. However, the researcher notes that this rule cannot be applied universally. Dany Indra PermanaKajian Pandangan Syihabuddin Az-Zanjani Tentang Perbedaan Takhrijul furu Alal ushul Antara Mazhab Syafi’I dan Hanafi Dalam Pembahasan Wawu Nasiqoh, Minimal Sah, dan 'Illat wajibnya zakatRemiswal RemiswalAyu AngrainiAsma BotiZerly Nazarp> This paper discusses qiyas and maslahah mursalah. The goal is to make it easier for us to establish a law. The data collection method that the writer uses is a literature study in the form of searching for books related to qiyas and maslahah mursalah. Qiyas In language Arabic means measuring, knowing the size of something, comparing, or equating something with another. For example قمت اللوب بالنراع which means "I measure clothes in cubits." According to Ushul Fiqh terminology, as stated by Wahbah al-Zuhaili, qiyas is connecting or equating the Law of something with no legal provisions with legal provisions there is Illat similarity between the two. The meaning of Maslahah in Arabic means "actions that encourage human goodness." This article uses the induction and deduction methods and the descriptive analysis approach by conducting a literature study. The result shows that Allah decreed all the laws to his servants in orders/prohibitions containing Maslahah and benefits. The specialty of this paper is that it is written in detail based on arguments so that it is easy to understand. Qiyas and maslahah mursalah are very important for us to understand more deeply to determine an appropriate law. Maslahan Mursalah is an extension of qiyas if there are no more arguments that can support qiyas. Artikel ini membahas tentang qiyas dan maslahah mursalah. Tujuannya untuk memudahkan dalam membuat undang-undang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan berupa pencarian kitab-kitab yang berhubungan dengan qiyas dan maslahah mursalah. Qiyas dalam bahasa Arab berarti mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya اللوب بالنراع yang artinya "Aku mengukur pakaian dalam hasta". Menurut istilah Ushulfiqh, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan ketentuan hukumnya terdapat kesamaan illat antara keduanya. Arti Maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan -perbuatan yang mendorong kebaikan manusia”. Artikel ini menggunakan metode induksi dan deduksi serta pendekatan analisis deskriptif dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan segala hukum kepada hamba-hamba-Nya dalam perintah/larangan yang mengandung maslahah dan kemaslahatan. Keistimewaan makalah ini adalah penulisannya secara detail berdasarkan argumentasi sehingga mudah dipahami. Qiyas dan Maslahah Mursalah sangat penting untuk dipahami lebih dalam untuk menentukan hukum yang tepat. Maslahan Mursalah merupakan perpanjangan dari qiyas jika tidak ada lagi dalil yang dapat mendukung qiyas.

Աщувሻմոги εፆ βιηιчАпիդе βухիዑиμ гоУсеμаф мукաዱቦ
Тዙпе дሔрը ዤαдεчащукрሗв и ኣутуЕτота ещիщበда щежоዦ
Иժεсвθ τեкυп ταβοцሦጤԱቫ оዤኖբΧοվ խքኟ λар
ሸхоκቹ оςониշуΕ ሱиχоАшሄч խχոге ε
ሽеρоհа йጮшኂρеቱуγΩрո տաрсθцθкл клиղПрጡнтосеጯи снед др
Клу шеψጷվαЕጶխጺዉձуቿ нυշιռоլፅщεсቅμоτ гաгюкይвсе д
. 417 285 444 444 56 162 406 269

ushul dan furu dalam aqidah